Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiupan Terompet Terakhir di Malam Tahun Baru

28 Desember 2020   23:02 Diperbarui: 29 Desember 2020   12:39 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa hari lagi jelang pergantian tahun. Dari 2020 ke 2021. Bagi keluarga Sukron pergantian tahun cuma sebatas angka-angka yang datang dan pergi, berulang-ulang. Sepanjang usia masih berkenan menetap diraganya, tentu ia akan ketahui hal itu.

Sejak wabah corona nyaris satu tahun berlangsung ini, ia masih bisa bertahan bersama anak, dan istrinya. Walau secara faktual hidupnya kembang kempis. Senin Kemis, atau tambal sana tambal sini. Pendek kata meski bantuan sosial pernah ia terima tetap saja belum mencukupi.

Orang-orang semacam Sukron ini oleh para ahli disebut kaum miskin perkotaan. Padahal sebenarnya  mereka orang-orang yang tidak cuma miskin, tapi benar-benar di bawah garis kemiskinan.

Bayangkan saja, tempat menetapnya itu dideretan petak rumah kumuh yang disewa Rp300 ribu sebulan.  Ia mesti rajin di bulan penghujan ini untuk ekstra keras menambal atap asbes rumah  yang bolong-bolong di beberapa bagian.  Belum lagi untuk kebutuhan mandi, cuci, dan kakus.

Untuk urusan kakus buat anaknya yang masih lima tahun ia kerap relakan di saluran air atau got di dekat rumahnya. Kalau ditegur, Sukron berkilah, rumah-rumah tetangga yang ajeg dan tingkat saja ada juga buang cairan kotoran ke saluran got ini. Kenapa saya tidak boleh?

Jika sudah begitu jawabannya maka adem kemudian. Sukron bisa meneruskan upaya maksimal untuk anaknya itu. Kendati dari segi mana pun tentu saja jorok, dan tidak sedap dilihat. Apa boleh buat. Keadaan yang memaksanya untuk mencari sendiri jalan keluar.

Jalan keluar untuk menambah pendapatan tambahan pun ia  coba usahakan saat ini. Ia kerahkan tabungan yang sedikit itu untuk merealisasikan gagasannya. Barangkali bisa bernasib mujur. Sisa waktu tiga hari dirasa cukup untuk turut menikmati keberuntungan di malam tahun baru nanti.

"Memangnya mau jual apa mas?Tanya istrinya.

"Terompet, dik. Kayaknya pedagang terompet sudah jarang sekarang."

"Ya jarang mas. Kan sudah dilarang pemerintah tidak ada malam tahun baruan."

"Gimana sih dik, malam tahun baruan tetap ada. Yang tidak ada acara kerumunan tahun baruan di beberapa tempat."

"Nah itu tau. Kenapa mesti jual terompet juga."

"Namanya rezeki siapa tau."

Sukron sudah bulat. Tekadnya mantap. Lalu ia datangi kawan dari kampungnya, Madun yang bisa membuat terompet berbahan kertas, botol plastik bekas, karet dan lainnya. Madun menyetujui mesti ragu atas larisnya terompet ini kelak. Sebab ia tau beberapa pedagang yang biasa memintanya untuk membantu membuat terompet telah beralih usaha lain sekarang ini.

"Kamu serius ini?"

"Serius, dan saya akan jual ini nanti."

"Mau buat berapa?"

"50 saja. Beda-beda ukurannya. Yang kecil 25, yang sedang 20, dan yang besar lima buah ."

Sejak hari itu keduanya berjibaku menuntaskan pembuatan terompet-terompet tersebut. Keduanya juga sepakat hasil penjualan di bagi dua, sebagai konpensasi upah pembuatan yang memang Sukron tidak lagi punya uang untuk membayarnya, sebab ia bagi uang itu untuk membeli juga obat bengeknya. 

Madun karena kawan sekampung tidak terlalu repot dengan urusan upah, sebab ia sendiri masih bisa mencukupi hidup anak, dan istrinya sebagai petugas PPSU.

***

Jelang sore tanggal 31 Desember 2020, Sukron sudah bergerak menyusuri jalan menuju lokasi yang biasa ramai sebagai tempat acara malam tahuan baru. Ia sendiri. Tiap langkah kakinya seperti di payungi awan berarak yang mulai pekat. Sekali-kali petir menyala menyilaukan pandangannya. Bunyi petir ia tak hiraukan. Pikiran bakal hujan sudah ada di kepalanya.

Di sepanjang jalan yang dilalui ia tengok kanan kiri, kalau-kalau ada juga penjual terompet yang menuju arah yang sama. Tapi sayang tidak ada satupun yang ia lihat. Pikirnya ini akan menguntungkan bagi terompet yang akan dijual. Semoga laris, begitu harapnya.

Hujan mulai turun. Ia percepat langkah hingga tiba meneduh di halte dekat dengan lokasi yang disasarnya. Beruntung sekali sejak tiba di halte, hujan kian deras. Bahkan hingga malam pukul 7 menjelang isya. Selama hujan ia masih bisa berbincang dengan penjual gorengan yang dipikul di halte itu. Sukron juga memikul trompetnya.

"Abang mau juga ke lokasi acara tahun baru?Tanya Sukron sungguh-sungguh.

"Tidak, mas. Saya mau pulang. Sudah sedikit lagi soalnya. Emangnya si mas mau kemana?"

"Ke lokasi acara tahun baru, di sana."balas Sukron menunjuk ujung jarinya.

Penjual gorengan merasa Sukron seperti tidak mengetahui informasi soal tidak adanya acara yang membuat kerumunan di tengah pandemi korona ini.

"Tidak ada acara apa-apa mas. Dilarang."

"Saya tau itu. Tapi rezeki siapa tau."

"Ya terserah saja."

Keduanya berpisah setelah jam menunjukkan pukul 9 malam. Hujan mulai reda, meski rintiknya terus saja menyirami semua yang ada. Sukron sudah berada di lokasi persis di bawah rindang pepohonan di luar pagar lokasi acara.

Malam tahun baru seperti malam biasa. Tidak ada kemacetan juga tidak ada keramaian. Tidak ada klakson bersahutan juga tidak ada bunyi petasan. Apalagi terompet. Malam dirasakan Sukron hening di sekitarnya.

Persis waktu tahun pergantian ia tengadahkan wajahnya ke langit barangkali ada percik dan suara petasan kembang api di sana. Tapi lagi-lagi sunyi. Yang ia lihat gelap, dan pekat tanda bakal kembali turun hujan. Namun Sukron tetap mensyukuri ia masih bisa melihat suasana pergantian malam tahun baru di lokasi ini.

Kendati sunyi ia bisa menghibur diri. Satu terompet ia bunyikan sekuatnya memecah kesunyian di sepanjang jalan itu. Terompet pertama yang akan dijual itu sudah ia gunakan. Bunyinya lirih, pilu, dan menyayat. Bukan sebagaimana terompet biasanya yang nyaring, menyalak, dan menggembirakan.

Bunyi terompet itu, lagi-lagi pikirnya akan membuat pengendara menghentikan mobil atau motornya, Tapi tidak satu pun juga yang berhenti, bahkan menoleh. Trompet kedua, ketiga, dan seterusnya ia coba. Juga sama saja. Padahal terompet buatan Madun biasanya sangat bagus, dan bisa menarik perhatian orang.

Sukron masih bertahan. Tahun 2021 sudah lewat empat jam. Hari menjelang shubuh. Terompet yang dicoba sudah nyaris 50. Nafasnya terkuras. Sejak sore hingga malam angin mengisi perut, dan tubuhnya. Tubuhnya pun oleng kemudian, dan ia jatuh terduduk di dekat pepohonan di hadapan pikulan terompet-terompetnya.

***

Madun petugas PPSU yang mendapat giliran bertugas di lokasi yang dituju Sukron terkejut. Ia dapati kawannya itu tengah bersandar dan mendekap satu terompet besar. Ia bangunkan bersama petugas lainnya. Tak ada tanda-tanda kehidupan. 

Rupanya, bathin Madun, Sukron mengetahui bahkan memandang betul bahwa rezeki kematian siapa tau datangnya. Kematian sudah tidak dipandang sebagai musibah atau ujian bagi anak, dan istrinya.

Madun tertunduk, barangkali terompet yang didekapnya itu menjadi tiupan terompet terakhirnya di malam tahun baru.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun