Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Si Kudil

27 Juli 2020   17:53 Diperbarui: 29 Juli 2020   16:20 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi laki-laki tua. (sumber: pixabay.com/yogendras31)

Angin sejuk senantiasa berhembus dari celah sempit suatu gang yang diapit rumah gedongan sebelah menyebelah. 

Di sudut gang ini, dekat tanah lapang yang biasanya jadi tempat pemotongan hewan qurban, berdiri rumah yang ditempati si Kudil. Kudil beserta istri, dan satu anaknya kerasan tinggal di sini. Meski hunian sederhana yang ditinggalinya milik haji Mal.

Ia seorang tuan tanah yang dulunya sangat berjasa bagi kampung ini. Terutama mendidik dan mengajarkan pendidikan Islam. Dibanding pada murid lainnya, Haji Mal begitu peduli pada si Kudil. Sebab di samping ia yatim piatu juga cepat menangkap apa yang diajarinya.  

Yang membuat terkesan haji Mal dulu itu, si Kudil jika diminta untuk membantu memandikan jenazah tidak pernah menolak, meski usianya baru menginjak remaja atau sekitar 16 tahun.

Kudil ketika itu pernah mengatakan pada haji Mal, "Pak Haji yang sudah kaya raya saja ikhlas membantu memandikan jenazah, apalagi saya. Saya harus belajar dari pak Haji."

Karena itulah si Kudil mewarisi profesi ini dari tuan tanah itu. Makanya tak heran jika haji Mal berwasiat pada anak-anaknya sebelum wafat, kelak biarkan si Kudil jika sudah berkeluarga menempati rumah sederhana itu. Wasiat itu pun kemudian ditunaikan oleh anak-anaknya.

Sementara sekarang si Kudil sehari-hari menjalani usaha jual keripik singkong, asin maupun pedas yang dibuat istrinya, Mumun. Tiap hari selalu tandas ia jual di sekitar kampungnya. 

Keliling jual juga tidak terlalu lama. Paling banter ia mulai pukul 8 pagi, saat zuhur sudah tiba di rumah. Sisa waktu dari zuhur ini ia juga kerap membantu urusan di masjid. Entah ikut membersihkan, maupun turut mengisi suara azan. Semua dilakukan sukarela.

Namun, kadang jika si Kudil ada di masjid untuk turut membantu, merbot masjid, Cepa, diam-diam seperti tidak menyukainya. 

Padahal untuk mengisi suara azan tidak tiap hari dilakukan si Kudil, hanya dilakukan jika ia diminta oleh imam masjid. Selain merdu suaranya, juga ia disukai oleh warga karena perangainya.

Konon menurut cerita, bukan soal kehadiran Kudil yang menjadi pangkal ketidaksukaannya, tapi Cepa sangat menyukai Mumun sejak remaja, dan tidak tergantikan hingga sekarang. Sebab Mumun juga membalas maunya Cepa. Hubungan mereka kemudian dijalani secara diam-diam sampai dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun