Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semen Proyek

9 Juli 2020   08:35 Diperbarui: 11 Juli 2020   10:56 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deretan rumah di gang buntu itu tertata baik, dan semi permanen semua. Ada tidak kurang 15 yang satu sama lain saling berhadapan di tengahi oleh jalan selebar satu meter yang panjangnya 75 meter. Jarak antar rumah juga sangat rapat, bahkan nyaris nempel.  

Dari 15 rumah ini hanya satu yang nyempil dan warnanya tampak kusam. Juga dindingnya bila dilihat sudah banyak yang keropos di sana sini. Rasanya rumah perlu diperbaiki atau ditambal atau diwarnai seperlunya.

Penghuni rumah bukan tidak peduli, hanya saja mereka berpikir kondisi rumah demikian belum perlu dibenahi. Sebab berada di paling pojok dari jalan buntu ini. Tidak bakal ada orang yang melintas, kecuali tamu yang datang.

Tetangga pun tidak mau tahu, dan tidak peduli dengan kondisi demikian. Kecuali peduli soal jalan di gang ini yang rusak akibat terlalu lama tidak diperbaiki. Sekedar pasir atau semen kiranya cukup untuk membuatnya enak dipandang, dan rapi. Paling tidak 15 sak semen, dan 20 gerobak pasir sudah lebih dari cukup untuk digunakan dalam perbaikan jalan tersebut.

Dari warga di nomor 28 itu kemudian kepedulian ditindaklanjuti. Ia yang mengkoordinir rencana itu. Tak kecuali rumah yang di pojok itu dikenai juga urunan semampu yang bisa diberikan. Namun ia bukan uang, tapi justru semen yang dijanjikan akan disumbang dua sak. Janji itu diutarakan bahwa pada pagi saat perbaikan dijalankan, semen sudah tersedia. 

Waktu satu minggu dari sekarang untuk menghimpun sumbangan tak terlalu mepet. Apalagi waktu-waktu ini, meski masa pandemi, tetap warga memiliki dana. Karena rata-rata pekerja sebagai PNS, walau guru, dan penjaga sekolah, maupun karyawan BUMN, yang cleaning service, dan satpam.

"Saya akan berikan dua sak semen saja. Mudah-mudahan cukup untuk menyumbang perbaikan jalan,"kata Ngawang memastikan.

"Baik, mas . Terima kasih sekali. Itu sudah lebih dari cukup,"balas Bakti yang jadi kordinatornya.

Ngawang, entah darimana punya pikiran untuk menyumbang materilnya langsung. Untuk sekadar mencukupi kebutuhan dua anak yang masih balita, dan istrinya saja kerap ribut tak karuan. Dari pojok hingga ujung muka jalan suara mereka nyaring terdengar bila sedang terdesak. Apalagi jika anak-anaknya rewel minta sesuatu. 

Dan, tetangga sudah maklum dengan keadaan ini. Sebab Ngawang menganggap ini urusan domestik, dan intern sifatnya. Tetangga tidak perlu tahu soal keributan yang nyaris terjadi dua kali dalam seminggu.

"Mas ini sudah gila apa?Buat makan sehari saja mesti banting tulang. Berani-beraninya kasih janji untuk nyumbang!"Bininya mulai pasang speaker.

"Bukan gila. Sekali ini saja kita mesti berani kasih janji. Soal ada atau gak, kan masih ada waktu seminggu lagi."

"Awas ya, kalo uang di celengan itu diambil untuk nyumbang!"Katanya mengancam sebab uang itu hasil jerih payahnya menjadi buruh cuci dan strika tiga tetangganya.   

Ngawang tidak menimpali. Ia ngeloyor pergi ke lokasi di mana para tukang biasa berkumpul untuk menunggu suatu pekerjaan, semacam galian. Di sini tidak ada yang ia kenal. Ngawang nimbrung untuk sekedar mengetahui kemana mereka akan diboyong oleh orang yang membutuhkan tenaganya. Mereka berbincang satu sama lain, Ngawang mendengarkan. Rata-rata  upah mereka cuma cukup untuk makan satu hari saja.

Sementara tugas yang dikerjakan membutuhkan tenaga ekstra kuat. Telapak tangan mereka pun terlihat keras dan kekar. Ngawang melihat telapak tangannya yang dirasakannya halus, dan tidak seperti para tukang. Ototnya pun demikian, tapi ia sendiri kurus, karena kurang asupan gizi. Belum lagi peralatan kerja yang dibawa oleh mereka, Ngawang malas melihatnya. Ia berpikir masih saja ada orang yang mau melakukan kerja semacam ini.

Ia tanya pada satu di antara mereka, apakah dirinya bisa ikut?Dijawab bisa asal kuat menggali. Dibalas lagi oleh Ngawang, bukan menggali tapi mengawasi. Mengawasi apa?Ya, kalian kerja!

Tukang itu mengacuhkannya kemudian. Ngawang juga pergi meninggalkan lokasi itu.

Ia susuri jalan kembali, dan dilihatnya ada proyek pembangunan gedung di sekitar situ. Ia coba memasukinya, namun dicegah satpam. Ngawang beralasan, akan menemui adiknya si Gompal, ada urusan mendadak. Satpam tidak begitu saja percaya, ia minta data pada bagian yang mencatat nama tukang. Setelah catatan itu dibaca rupanya ada nama itu. Satpam lalu membolehkannya masuk. Padahal Ngawang asal sebut nama saja. Ada syukur tidak ada ia jalan lagi.

Ngawang pun masuk ke proyek itu. Ia tengok sana tengok sini. Bahkan naik ke lantas atas hingga nomor lima, dan turun kembali. Tidak ada Ngawang membuka percakapan. Mereka semua sibuk bekerja. Gompal yang dimaksud olehnya juga sudah ia lupakan. Seorang mandor di dekatnya memperhatikan teliti. Pikirnya seseorang yang tidak dikenal sejak tadi wara wiri di sekitar bangunan. Ia lalu bertanya, dijawab Ngawang sedang melihat instalasi yang sedang dikerjakan.

"Lalu Anda siapa?"

"Saya adik iparnya mas Tambal, satpam di depan sana,"kata Ngawang sekenanya yang memang mengetahui nama itu ketika dicegah masuk sebelumnya.

Mereka kemudian berbincang satu sama lain. Keduanya tampak cepat akur sebab mandor itu kawan baik satpam. Dan, mandor itu juga cerita jika ada kebutuhan mendadak keluarga yang tidak bisa segera diselesaikan, mereka bisa saling mengerti. Misalnya saling meminjamkan uang, atau sekali-kali menggelapkan barang proyek yang bisa dikeluarkan untuk sekedarnya.  

Setelah beberapa saat berbincang, Ngawang pun nekad dan coba-coba meminta semen dua sak pada mandor itu, untuk kepentingan menambal jalan di gang buntu dekat rumahnya. Saking percaya, si mandor tidak banyak tanya lagi. Ia segera menyuruh dua orang tukang untuk membawa dua sak semen itu untuk Ngawang. Salah seorang  tukang tidak diam, dia coba tanya kembali pada mandor untuk siapa?Dijawabnya untuk sumbangan seraya menunjuk Ngawang sebagai adik iparnya Tambal.

Mandor menyuruh Ngawang mengikuti tukang untuk mengeluarkan semen dari proyek tersebut lewat jalan belakang.  Aman sudah, tapi Ngawang kebingungan bagaimana membawa dua sak semen ini. Untungnya ada bajaj yang melintas. Dan, Ngawang pun selamat akhirnya memboyong dua sak semen gratis dari proyek itu hingga ke rumahnya. Sampai waktunya sumbangan untuk jalan di gang buntu Ngawang tunaikan. Beres sudah masalah Ngawang.

Tapi tiga hari usai jalan gang buntu dibenahi, kisah Ngawang yang masuk ke proyek pembangunan gedung viral di media sosial. Sang mandor dan Satpam yang merasa dibohongi mengisahkan peristiwa itu. Tapi sayangnya kisah itu berupa tulisan, bukan gambar atau video. Sebab CCTV di proyek sedang rusak. Atau mereka tidak memotretnya. Tetangga lain dan bininya hanya bisa menduga-duga saja soal kisah viral tersebut.

"Jangan-jangan dia!"

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun