Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Sedih Penjual Jamu Gendong

7 Juli 2020   08:57 Diperbarui: 11 Juli 2020   10:50 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan salahmu jika kau menghilang. Juga bukan keinginanku semua ini telah terlupakan. Masa itu telah menjadi milik kita bersama. Semesta mengakuinya meski hanya lewat bisik angin, gerimis hujan maupun awan berarak di atas sana yang seperti gumpalan kapas.  Tak ada yang tidak mengakui keabadian cerita cinta yang pernah kita lalui. Semua mengalir apa adanya. Dan, aku meminta maaf kepadamu, sungguh.

Di tikungan jalan di samping supermarket itu awal mulanya. Kau gendong bakul jamu dengan cara yang sangat menawan. Senyummu lepas, memamerkan baris putih gigi dengan bibir yang penuh. Tak ada sanggul sebagimana perempuan penjual lainnya. Kau biarkan tergerai rambut hitam sebahu itu dihembus angin senja. Aku mulai mengenalmu.

"Yayu, katamu menyebut nama ketika itu.

Satu gelas jamu kemudian aku minum tuntas, dan kita berbincang panjang. Aku banyak memuji racikan minuman tradisional yang kaubuat. Pahit rasanya namun manis tatkala kau tersipu malu saat aku memuji. Dari situ saja kau seolah melupakan pelanggan lain yang sudah menanti. Tapi aku mengingatkanmu untuk menemui mereka. Hanya nomor hp yang saling tukar untuk esok dan hari selanjutnya pertemuan terjadi.

Di minggu pertama kemudian janji perjumpaan di warung bakso dekat pasar tradisional. Aku datang, dan kau sudah menunggu dengan barang belanjaanmu di sore itu juga. Aku yang traktir, sebab katamu yang mengajak yang mesti membayar. Dan, kau begitu menikmati jajanan bakso yang memang tak pernah kau singgahi, seperti yang kau utarakan saat ini.

"Baksonya enak ini,"katamu senang.

Dan aku menawarkan untuk bisa dibawa satu bungkus lagi untuk di kosan, namun kau menggeleng ringan. Di tempat ini aku mulai merasakan getaran tidak biasa kala memperhatikan cara kau menyuap makanan, mengunyah, bahkan menelan. Rasanya tak karuan. Bahkan di saat keringatmu meleleh dari wajah, aku spontan mengusapnya dengan tisu yang ada di meja. Kau kembali tersipu, tak kuasa untuk menolak.

"Terima kasih,"ucapmu sembari menahan pedas.

Pertemuan terus berlanjut, hingga di tengah waktu yang ada, aku mensiasati untuk bisa pergi bersamamu di hari minggu ini. Hanya berdua saja. Dan, kita bersama pergi ke Ancol. Di sini suasana sangat romantis. Tak ada keraguan lagi. Tangan kita saling terpegang satu sama lain. Berjalan di sisi pantai di atas pasir putih yang tidak putih lagi, tapi kelabu. Semilir angin menambah sejuk, meski panas terik matahari tak bisa ditolak. Dan kita menepi juga akhirnya di bawah pohon yang tak jauh dari sisi pantai itu.

Aku ungkapkan rasa yang selama ini ada. Kau mendengarkan dalam kehangatn sembari tak melepaskan jemarimu di tanganku.

"Sejak pertama bertemu, aku sudah mengagumimu. Dan, selanjutnya kau seperti tak bisa lepas dari ingatanku,"kataku membuka perbincangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun