Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ternyata Petruk Keliru Baca Kemungkinan

3 Juni 2020   05:55 Diperbarui: 6 Juni 2020   00:15 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali hitam yang membelah pemukiman padat dan kumuh di Jalan Madesu itu tampak ramai di tahun 2000 lalu. Di situ banyak orang yang sedang mengail atau memancing sembari santai. Bicara ada ikan atau tidak bukan soal. Yang penting bisa menghirup udara seperempat segar, dan separuh bau. 

Karena tidak mungkin orang-orang ini akan betah di rumah. Bagaimana mungkin juga bisa kerasan jika satu petak rumah di isi enam sampai lima jiwa. 

Mereka pasti tertumpuk dan sulit buat menarik nafas lega. Jadi jangan heran untuk mengetahui rasanya hidup dalam kondisi demikian perlu menyelami suasana hati mereka.

Dan suasana hati mereka akan dipengaruhi juga oleh isi pendaringan di dapur. Bila isinya penuh, maka berderet orang-orang ini di tepi kali. Bila tinggal setengah saja, maka tiap perapatan jalan akan terlihat tukang parkir jalanan atau pak Ogah dua ribu.

Namun bila kosong sama sekali, mereka akan bergerilya ke kantong-kantong strategis untuk mencopet atau mencuri, tapi bukan begal jalanan. Kenapa? 

Mereka butuh untuk sekadar makan, dan makan mesti didapat lewat kerja. Sementara kerja mereka rata-rata serabutan dan hasilnya habis dalam satu hari. Kondisi tidak jarang kepepet semacam ini sudah biasa di sini.

Selain itu juga tambah ruwet bila urusannya sudah menyangkut pergaulan usia remaja. Remaja putus sekolah yang tinggal di wilayah tersebut potensial sekali untuk berbuat semaunya. 

Atas nama susah hidup alias orang tua hidup pas-pasan, maka cari masalah adalah manifestasi jalan keluarnya. Bisa tawuran atau mencuri berjamaah, atau dwi tunggal. Itu yang terjadi di suatu swalayan yang letaknya tak jauh dari pemukiman tersebut.

Paijo, satpam swalayan, pergoki dua remaja tanggung tengah mengotak atik AC milik swalayan di tengah malam. Entah dari mana mereka bisa menembus masuk swalayan itu. Padahal sudah terkunci dari berbagai pintu. 

Karenanya kedua remaja itu dibekuk oleh satpam, dan tak lama kemudian dibawa ke kantor polisi. Keduanya diintograsi, motif pelaku digali sedemikian detailnya. Paijo tak urung menjadi saksi jika kasus ini dilanjutkan ke pengadilan.

Kata polisi, pada kedua pelaku, "Siapa yang jadi otak pencurian ini?"

Keduanya kompak menjawab, tidak ada yang punya otak dari pencurian ini. Sadar menggali informasi dari keduanya bakal bertele-tele, polisi menyudahinya. 

Singkat kata, keduanya mengakui aksi pencurian itu untuk tujuan membeli handphone second, dan polisi kemudian menjebloskannya ke dalam sel.

Esok paginya tersiar kabar dari mulut ke mulut. Remaja tanggung dari pemukiman itu mencuri AC yang tak sempat digondol. Dan, keduanya kini ditahan. Karuan saja orang tua dari keduanya kalang kabut. 

Mereka tak menyangka AC jadi pilihan. Sebelumnya pernah dilakukan usaha mencuri ini sekali, yakni hanya biskuit atau agar-agar. Sebab kata orang tuanya, apa yang dicuri itu untuk adik-adiknya yang rewel dan merengek minta sesuatu di kala orang tuanya tidak ada uang. 

Dan, tiba-tiba dalam waktu sebentar, abangnya ini membawakan apa yang menjadi kesukaan adiknya. Ajaibnya pihak swalayan memaklumi perbuatan tersebut. Sebab yang diambil masing-masing cuma sebiji.

Tak lama, pemberitahuan pun disampaikan pihak kepolisian pada kedua orang tua tersebut. Mereka cuma pasrah, dan memaki-maki satpam swalayan itu yang tidak punya tenggangrasa.

Karena, kata kedua orang tuanya, AC-nya sendiri belum digondol beneran. Baru juga dicongkel sana-sini untuk dilepas, dan itu juga tertangkap tangan. Padahal kalau saja tidak menghubungi polisi barangkali bisa didamaikan.

Satpam Paijo pun jadi makian orang di sekitar swalayan tersebut. Bahkan Paijo sendiri adalah warga di wilayah ini juga. Memang agak dilematis baginya, sebab ini menyangkut sumpah dan kesetiaan satpam terhadap pengamanan asset vital milik bos swalayan itu. Bila didiamkan maka ia jadi taruhannya. Bisa dipecat atau ia yang mengganti barang yang hilang dengan uang gajinya.

Namun begitu, untungnya di pemukiman ini ada seorang yang dianggap mengerti soal hukum. Ia dikenal dermawan, dan suka menolong. Karenanya kedua orang tua dari anak ini meminta bantuan sungguh-sungguh, terutama ibu mereka.

"Tolong om, si Kusni kagak pernah begitu. Paling dulu sekali saja curi biscuit di swalayan itu,"kata ibunya Kusni.

"Benar om, si Kasdut juga sama, agar-agar yang pernah diambil dari situ cuma sebiji,"jelas ibunya Kasdut menambahkan.

Mereka meminta agar anaknya tidak di penjara atau sampai ke pengadilan, meski sudah berusia 17 tahun lewat satu bulan. Segala latarbelakang kedua anak mereka disampaikan pada om Petruk ini. Petruk pun tak kuasa menolak. Ia juga adalah bagian dari warga yang ada di sini. Tak berapa lama ia datangi juga kantor polisi tersebut.

"Saudara siapa?"

"Saya Petruk."

"Ada maksud dan tujuan apa?"

"Melihat keadaan anak tetangga saya yang ditangkap kemarin."

"Keadaannya baik-baik saja. Dan, sedang diproses untuk dimeja hijaukan."

"Apakah BAPnya sudah selesai dan diserahkan ke kejaksaan?"

"Sedang diproses, lusa atau hari sesudah lusa akan selesai BAP-nya?"

"Berarti kalau sekarang hari Senin, maka Rabu akan diserahkan, begitu pak?"

"Benar sekali!"

Setelah sedikit menggali informasi, Patruk kemudian tidak lama di kantor kepolisian tersebut. Ia berpikir bukan main cepatnya proses berita acara pemeriksaan (BAP). Dan, rasanya tidak ada celah bagi anak-anak itu untuk terbebas dari jerat hukum. Setelah putar otak sana sini, ia temui juga satpam Paijo akhirnya.

"Jo, anda kan yang menangkap basah anak-anak malam itu?"

"Benar, om. Biar rasa mereka di kantor polisi. Naik kelas soalnya dari biscuit dan agar-agar ke AC. Kurang ajar itu!"

"Jangan begitulah, Jo. Mereka kan masih remaja. Dan, anda sendiri tau masa kecil mereka, bagaimana susahnya hidup di sini."

"Iya om. Udah tau susah eh dibikin susah pula. Biar aja, lagipula orang tua mereka, orang sekampung musuhi pula saya, istri dan anak-anak. Maling kok dibela!"

"Om kan tidak memusuhimu, Jo. Begini saja, anda cabut laporannya dan semua bisa didamaikan di sana. Daripada anda repot juga bolak balik jika nanti disidangkan."

"Ah biar saja om, Saya sudah siap jadi saksi. Ini perkara mental mereka supaya tidak berbuat hal yang sama."

"Tapi anda kan kerja di sini. Tiap hari pula. Lagian sebelum dibawa ke pengadilan. Anda juga akan diperiksa sebagai pelapor di depan polisi. Setelah itu diperiksa ulang lagi, kalau ada yang dianggap kurang oleh kejaksaan. Setelah itu anda bakal ditanya lagi. Tidak sampai sini saja, nanti jika sampai sidang, anda jadi saksi. Coba pikir Jo, berapa lama waktu yang dihabiskan untuk urusan AC?"

Paijo berpikir juga. Waktu yang dihabiskan tidak cuma seminggu, malah bisa berminggu-minggu buat urusan ini. Belum lagi urusan jaga yang cuma dia seorang di swalayan. Kalau dipikir ada benarnya juga. Nanti bos yang punya swalayan, malah cari pengganti. Alasannya pasti perlu satpam yang konsentrasi pul menjaga swalayan. Dan, tidak bisa ditinggal untuk urusan atau kepentingan yang lain.

Di tengah Paijo berpikir demikian, Petruk menambahkan, lagi pula akan prihatin juga, seandainya anak-anak benar-benar masuk sel, dan dihukum. Keluar dari sel bisa saja akan naik kelas jadi pengedar narkoba, atau begal atau penjahat kambuhan. 

Dan, yang menakutkan bisa membawa teman sebayanya juga di wilayah ini untuk meniru atau mengikuti aktivitas mereka. Mereka bisa punya pengaruh kuat buat yang lainnya. 

Biar pun cuma enam bulan dikurung, katakan seperti itu, tetap saja mereka punya pengalaman baru yang lebih menjanjikan untuk peroleh taktik dan strategi melakukan kejahatan. Bisa saja. Kemungkinan itu selalu ada.

Kalau dikeluarkan sekarang, paling tidak anak-anak ini kapok, dan belajar agama lebih rajin. Setidaknya kita ambil manfaat buat masa depan mereka, dibanding mudharatnya.

Karena kuatir oleh kemungkinan yang disampaikan Petruk, maka akhirnya Paijo menuruti juga untuk mencabut laporannya, dan diusahakan untuk damai demi masa depan anak-anak ini.

Akhirnya setelah segala sesuatunya beres di kantor kepolisian, atau kepentingan administrasi itu sudah ditunaikan oleh Petruk, dan Paijo, maka anak-anak ini kemudian kembali ke orang tuanya. Kedua orang tuanya gembira. Paijo kemudian tidak lagi dimusuhi, dan Petruk semakin dikenal di wilayah ini.

Kehidupan pun terus berlanjut. Kebiasaan di pemukiman ini tidak banyak kemajuan. Dari tahun ke tahun, hingga jelang 10 tahun kemudian, stag seperti biasanya. Padahal segala pembangunan di kota besar mulai meningkat pesat. 

Di beberapa wilayah yang dipandang padat pemukiman penduduknya direlokasi ke rumah-rumah susun. Mereka diberi kehidupan yang layak untuk tempat tinggal, meski membayar sewa sesuai kemampuan. Rata-rata Rp500 ribu sampai Rp700 ribu perbulan, tergantung kondisi pendapatan mereka tiap bulannya.

Tapi di jalan Madesu seakan solid. Warga tetap konsisten hidup di sini sebab lebih mudah untuk melakukan segala kerja. Pekerjaan mereka pun serabutan yang rata-rata menjadi tumpuan harapan untuk sekadar makan. 

Dan usaha serabutan ini juga yang digeluti Kusni dan Kasdut saat sudah dewasa. Hingga pada suatu sore jelang malam minggu, keduanya dihakimi massa akibat menjambret kalung Srikandi, istrinya Petruk di depan swalayan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun