Di hadapan Nyi Ronggeng, Aki Sanca menerangkan makna benda itu. Kain putih ini adalah kain kafan jenazah yang diambil dari pekuburan entah di mana.Â
Sedangkan tanah ini, adalah tanah yang diambil dari dalam rongga tanah di mana jenazah dipendam. Ini sebagai tanda. Jika usaha yang dilakukan anak itu berhasil maka dia sendiri yang menjadi tumbalnya.Â
Jika tidak, sama saja. Kematian anak itu sudah di depan mata, entah kapan. Kelihatan sekali yang meracik benda ini sudah muak dengan anak itu.
"Lalu bagaimana dengan tanah kita, Ki?"
"Jual saja. Biar anak itu puas, hehehehe."
Keduanya terkekeh dan segera membungkus kembali benda itu untuk kemudian dipendam di belakang halaman, disertai dengan jampi-jampi yang mereka bisa.
Jumat yang di nanti pun akhirnya tiba. Dua hari berturut-turut Dimin menemui Aki Sanca. Dua kali pula Aki Sanca didatangi Dimin tanpa jeda. Di dalam hati Dimin campur aduk antara takut dan gelisah.Â
Ia seperti orang yang tidak berpijak pada tempatnya. Dirasakan sukmanya seperti melayang entah kemana. Namun demikian kegelisahan semacam itu ia tanggalkan. And the end, tak sia-sia, ia lolos urusannya di hari itu.
Aki Sanca sama sekali tak menolak. Kontan saja ia sudahi kesepakatan itu dengan cepat. Seterusnya menuju kediaman lurah kampung yang jaraknya 100 meter.
"Ini bagian lurah. Tak usah dihitung kembali. Tinggal urus saja surat tanah yang tiga hektar itu. Saya tunggu kabarnya,"kata Dimin sembari menyodorkan segepok uang dalam amplop coklat.
Lurah Gemblung menuruti semua yang dikatakannya. Baginya uang adalah segalanya agar bisa mengurus istri dan tujuh orang anak. Selebihnya bisa datang ke tempat hiburan di kampung sebelah untuk dangdutan dan saweran.Â