Jam menunjukkan pukul 12.30 siang hari. Matahari menyorot terang. Desa di mana kiai tinggal masih banyak warga yang beraktivitas. Sebagian tengah menjemur padi di jalan. Sebagian mengangkut hasil ladang, berupa ubi, singkong, dan kacang tanah. Beberapa orang juga tengah bersendau gurau di warung kopi Ceu Munah persis di depan sebelah kiri rumah kiai.
Ditunggu sesuai janji yang diutarakan Kuwu Naya, tak jua muncul staf desa datang ke rumahnya. Kiai maklum. Barangkali mereka masih di jalan. Sebab jarak antara desanya dengan desa pohon Kemuning itu amat jauh, sekitar 10 km. Satu hari itu kiai menunggu. Tapi tak jua datang.
Hari ke minggu, lalu bulan hingga tahun, beban yang dipikulnya sudah semakin membuat nafasnya pendek, dan terengah-engah. Bersamaan itu janji upah yang bakal ditunaikan juga tak kunjung ada kabar. Nyaris dua tahun kiai masih berharap akan datang utusan desa dari Kuwu Naya.
Namun di hari kamis malam Jumat Kliwon ia putuskan melepas saja apa yang ia kunci selama ini dalam tubuhnya. Kuwu Naya telah ingkar janji.
"Engkau pergilah wahai mahkluk jahanam. Aku tak sanggup lagi mengurungmu."
Bukan main gembiranya mahkluk itu. Juga tiada dapat digambarkan, malam itu, desa di mana kiai tinggal berguncang, bukan kediaman kiai saja, tapi satu desa berguncang sesaat setelah mahkluk itu dilepaskan, seolah ada gempa.
Kiai sudah memutuskan, dan tidak mau tahu lagi urusan selanjutnya antara mahkluk itu dengan Kuwu Naya. Ia hanya berserah diri pada yang Maha Kuasa.
***