Suratna, namanya. Perempuan berkarya dan berjaya pada masanya. Figurnya tenggelam ditelan masa, sempat terkunci lama dalam laci kearsipan dunia sinema Indonesia.
Siapakah dia, yang kemudian - setelah sejumlah pegiat dan periset film bongkar arsip - menemukan namanya sebagai figur penting yang ikut meletakkan fondasi sinematika di Tanah Air?
Putri Sumatra Barat kelahiran Sawahlunto pada 1913 itu - yang kemudian dikenal sebagai Ratna Asmara - terbukti merupakan sutradara perempuan pertama di Indonesia. Dia adalah perempuan pelopor dalam kancah layar lebar.
Eksistensinya sebagai sutradara untuk lima film pada 1950-an amat pantas diacungi jempol. Kemunculannya sebagai sutradara perempuan di tengah dominasi laki-laki, layak diingat sebagai titik penting riwayat industri film. Sungguh inspiratif.
Nama Ratna Asmara belakangan ini ramai mengisi ruang-ruang diskusi di mana Kelas Liarsip dengan srikandi-srikandinya menjadi narasumber kunci, di dalam dan luar negeri. Kelas Liarsip adalah kelompok belajar virtual yang fokus pada studi arsip film, restorasi, dam sejarah perempuan dalam sinema Indonesia.
Menyambut Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret, Museum Penerangan Taman Mini Indonesia Indah (Muspen TMII) ikut menggalakkan informasi bersejarah itu. Institusi ini menggelar acara khusus Muspen Talk "Behind the Lens: Ratna Asmara, Sutradara Perempuan Pertama" pekan lalu di Muspen TMII, Jakarta.
Pada acara ini, sekitar 50 tamu/undangan menyaksikan pemutaran film dokumenter "Merangkai Ratna Asmara" dan mengikuti diskusi dengan dua srikandi Kelas Liarsip tentang apa, mengapa, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana hal-hal terkait Ratna Asmara berikut riwayat profesinya dan seluk-beluk pembuatan film tentangnya. Acara ditutup dengan pemutaran film Dr. Samsi - satu dari lima film yang disutradarai oleh Ratna Asmara.
Muspen Talk menghadirkan Ersya Ruswandono (sutradara "Merangkai Ratna Asmara") dan Umi Lestari (dosen dan peneliti sejarah film) sebagai narasumber. Acara ditutup dengan pemutaran film "Dr. Samsi" - satu dari lima film yang disutradarai oleh Ratna Asmara. Dalam film ini, Ratna Asmara ikut sebagai bintang, yakni sebagai Sukaesih.
Menyadari pentingnya acara itu, Muspen TMII menghadirkan para pelajar setingkatb SMA/SMK, komunitas perfilman, penulis, dan masyarakat umum sebagai peserta.
Kelas Liarsip tentu saja menyambut positif inisiasi Muspen TMII untuk mengadakan ruang edukasi tersebut. Kaum muda perlu mengenal sejarah dan peranan perfilman, termasuk peran perempuan dan nama-nama yang menjadi pelopor di masanya.
Ersya Ruswandono dan Umi Lestari menegaskan, Ratna Asmara adalah tokoh legendaris perfilman Indonesia yang pantas disuarakan dan dikenal luas atas kiprah dan karya-karya memajukan dunia sinematika Indonesia.
Film dokumenter tentang Ratna Asmara memperlihatkan betapa sulitnya penelusuran dokumen untuk mengungkap lebih banyak tentang sosok Ratna Asmara.
Bahkan, mereka sampai menjejaki kuburan Ratna Asmara yang kabarnya ada di Blok P Kebayoran Baru, tetapi nihil. Ada masa di mana pemakaman harus dibongkar dan dipindahkan ke tempat lain. Tentu saja dengan pendataan ulang.
"Mungkin tidak ada keluarga yang mengurus, sehingga makam Ratna Asmara masih tetap di sana," ujar Ersya merujuk lahan kuburan yang kini di atasnya sudah menjadi tempat berdirinya kantor administrasi pemerintahan di  Jakarta Selatan.
Peneliti juga menelusuri kemungkinan bisa berkontak dengan keluarga besar, termasuk keturunan dari Ratna Asmara. Hal ini masih dilakukan, demi kelengkapan data tentang sosok historis Indonesia itu.
Kesulitan lain adalah ketika memroses arsip film karya Ratna Asmara, yang kondisinya amat memprihatinkan. Dengan tahapan panjang, serius, dan menuntut kehati-hatian, periset berusaha menyelamatkan film sutradara perempuan itu sampai tahap digitalisasi.
"Ya, pemerintah dan kita semua, perlu lebih peduli soal pentingnya kearsipan," tegas Umi Lestari menjawab Kompasiana usai Muspen Talk. Kearsipan harus ditangani serius. Sebab, melalui karya-karya itulah kita bisa berbicara banyak dan memahami sejarah dari masa ke masa.
Kedua pembicara - yang saat itu ditemani oleh Julita Pratiwi (satu lagi srikandi Kelas Liarsip) - mengingatkan pentingnya membuka pintu seluas-luasnya bagi generasi muda, khususnya mereka yang masuk peminatan film, buat belajar, mengetahui, mengenal, memahami pentingnya pengarsipan dalam menjaga warisan budaya sinema.
"Perkuat database," tandas Umi Lestari merespon pertanyaan salah seorang siswa.
Kepala Muspen Abdullan melalui stafnya menyampaikan, kegiatan tersebut merupakan bukti pengakuan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bahwa film adalah bagian penting dalam sejarah penyebaran indoemasi di Indonesia. Komdigi peduli untuk mengangkat nilai-nilai inspiratif dari masa lalu untuk lebih memotivasi dan membekali generasi muda dalam berkiprah dan berkarya di dunia perfilman.
Aktris dan Sutradara
Ratna Asmara memulai karirnya di dunia pertfilman sebagai aktris sandiwara. Nama Suratna berganti menjadi Ratna Asmara setelah menikah dengan Andjar Asmara, sutradara dan pemain film.
Ratna dan Andjar Asmara pada awal 1930-an tergabung pada kelompok sandiwara Dardanella. Pada grup ini Ratna membuktikan kemampuannya bernyanyi.
Pada akhir 1930-an, Ratna Asmara masuk kelompok Bolero pimpinan Andjar Asmara. Pada 1940, dia membintangi film Kartinah garapan suaminya, yang bercerita mengenai cinta seorang suster dengan bosnya.
Ratna Asmara juga bermain dalam film-film suaminya yang lain, seperti Noesa Penida tentang romansa di Bali) dan Ratna Moetoe Manikam mengenai kisah cinta antara tiga dewi dan satu manusia. Pada 1948, di mana Indonesia baru merdeka, Ratna Asmara membintangi Djauh di Mata.
Ratna Asmara tampil sebagai sutradara dengan menggarap film pertamanya yang berjudul "Sedap Malam" pada 1950. Ini atas permintaan Djamaluddin Malik - produser yang kemudian dikenal sebagai Bapak Industri Film Indonesia dan penggagas Festival Film Indonesia - untuk perusahaan Persari.
Film itulah yang kemudian menjadi dasar pengakuan bahwa Ratna Asmara adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia.
Ada empat film lain yang disutradarainya, yakni Musim Bunga di Selabintana (1951), Dr. Samsi (1952), Nelajan (1953), dan Dewi dan Pemilihan Umum (1954). Film yang terakhir itu adalah film yang bertepatan dengan pemilihan umum pertama pada 1955.
Di usia yang relatif baru bagi sebuah negara yang baru meredeka, di tengah dominasi laki-laki, bahwa ada perempuan yang menjadi sutradara, sungguh pencapaian yang layak.
Laci arsip itu sudah dibongkar. Harum nama Ratna Asmara mulai tersebar. Apresiasi besar buat para penggagas, periset, pegiat, pemerhati film yang ikut dalam upaya penting ini.
Semoga semangat terus terjaga demi menyelamatkan fakta historis. Masih banyak laci yang macet, yang isinya entah bagaimana kondisinya. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI