"Perkuat database," tandas Umi Lestari merespon pertanyaan salah seorang siswa.
Kepala Muspen Abdullan melalui stafnya menyampaikan, kegiatan tersebut merupakan bukti pengakuan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bahwa film adalah bagian penting dalam sejarah penyebaran indoemasi di Indonesia. Komdigi peduli untuk mengangkat nilai-nilai inspiratif dari masa lalu untuk lebih memotivasi dan membekali generasi muda dalam berkiprah dan berkarya di dunia perfilman.
Aktris dan Sutradara
Ratna Asmara memulai karirnya di dunia pertfilman sebagai aktris sandiwara. Nama Suratna berganti menjadi Ratna Asmara setelah menikah dengan Andjar Asmara, sutradara dan pemain film.
Ratna dan Andjar Asmara pada awal 1930-an tergabung pada kelompok sandiwara Dardanella. Pada grup ini Ratna membuktikan kemampuannya bernyanyi.
Pada akhir 1930-an, Ratna Asmara masuk kelompok Bolero pimpinan Andjar Asmara. Pada 1940, dia membintangi film Kartinah garapan suaminya, yang bercerita mengenai cinta seorang suster dengan bosnya.
Ratna Asmara juga bermain dalam film-film suaminya yang lain, seperti Noesa Penida tentang romansa di Bali) dan Ratna Moetoe Manikam mengenai kisah cinta antara tiga dewi dan satu manusia. Pada 1948, di mana Indonesia baru merdeka, Ratna Asmara membintangi Djauh di Mata.
Ratna Asmara tampil sebagai sutradara dengan menggarap film pertamanya yang berjudul "Sedap Malam" pada 1950. Ini atas permintaan Djamaluddin Malik - produser yang kemudian dikenal sebagai Bapak Industri Film Indonesia dan penggagas Festival Film Indonesia - untuk perusahaan Persari.
Film itulah yang kemudian menjadi dasar pengakuan bahwa Ratna Asmara adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia.