Indonesia, negeri yang terbentang di atas "Cincin Api Pasifik", hidup dalam realitas geologis yang dinamis. Gempa bumi bukanlah peristiwa langka, melainkan bagian dari siklus alam yang harus kita hadapi. Tragedi gempa Lombok pada tahun 2018, yang menyebabkan kerusakan infrastruktur lebih dari 80% dan kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah, menjadi pengingat pahit akan kerentanan kita. Kejadian ini, bersama dengan bencana serupa lainnya di seluruh nusantara, menegaskan satu hal: memandang konstruksi tahan gempa sebagai sebuah kemewahan adalah sebuah kekeliruan fatal. Kini, ia adalah kebutuhan mutlak dan mendesak.
Melalui kajian dari berbagai riset terkini, kita dapat melihat urgensi ini dari tiga lensa utama: pelajaran dari rekonstruksi pascabencana, kompleksitas ancaman gempa yang tak terduga, dan peran teknologi sebagai akselerator solusi. Upaya rekonstruksi perumahan pascagempa di Lombok Utara adalah sebuah studi kasus monumental. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Rekayasa Sipil Universitas Andalas pada Maret 2025 menyoroti praktik konstruksi berkelanjutan dalam proses tersebut. Â Hasilnya menunjukkan sebuah ironi. Di satu sisi, ada kemajuan signifikan dalam efisiensi penggunaan material dan upaya mempertahankan lahan pertanian dengan membangun kembali di lokasi semula. Namun di sisi lain, ditemukan banyak tantangan mendasar, seperti partisipasi masyarakat yang belum optimal, rendahnya pemanfaatan material daur ulang dari puing-puing, dan sistem pengelolaan limbah konstruksi yang belum memadai Pelajaran utamanya adalah, proses rekonstruksi pascabencana sangatlah kompleks, mahal, dan menguras sumber daya. Prinsip "Membangun Kembali dengan Lebih Baik" (Build Back Better), yang menjadi amanat Undang-Undang Penanggulangan Bencana kita, seharusnya tidak hanya menjadi slogan saat bencana telah terjadi. Prinsip ini harus menjadi fondasi sejak awal dalam setiap proses pembangunan. Jauh lebih efektif dan efisien untuk berinvestasi dalam membangun struktur yang tangguh sejak awal daripada harus menanggung biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang jauh lebih besar saat melakukan perbaikan setelah kerusakan masif terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI