Mohon tunggu...
Erna Manurung
Erna Manurung Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bermukim di kampung halaman (Serang, Banten)

Senang menulis hal Ikhwal masalah-masalah kesehatan jiwa, sesekali jalan-jalan di sekitar rumah lalu melaporkannya ...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menjadi Caregiver yang Optimis dan Asyik bagi Pejuang Kanker

2 Juni 2021   20:04 Diperbarui: 4 Juni 2021   18:43 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shahnaz bisa memahami kalau ada caregiver karakternya melankolis. Namun ia menyarankan, ketika sedang berada di depan pasien dan ingin menangis, sebaiknya ditahan dulu. "Kalau mau nangis, nangisnya sama Tuhan aja. Soalnya, biasanya orang yang sedang berada di tahap terminal dan sudah mau pergi, sulit sekali mau berpamitan ketika di sekelilingnya merasa sedih. Orang yang kita cintai itu ketika mau pamit, susahnya bukan main. Jadi ciptakanlah suasana yang menyenangkan buat mereka," jelas bungsu dari tiga bersaudara ini.

Shahnaz tidak memungkiri bahwa menahan emosi negatif adalah sebuah tantangan. Ia mengutip penelitan yang menyebutkan bahwa manusia memiliki enam level emosi negatif dan hanya tiga level emosi positif. Artinya, menjadi caregiver yang positif dan optimis itu perlu usaha, kata dia. "Karena pada dasarnya manusia lebih mudah mengeluh, merasa sedih, marah, dan takut dibandingkan merasa bersemangat, menerima keadaan dan merasa damai. Level emosi positif yang paling tinggi adalah perasaan damai. Jadi, berlatihlah untuk merasa damai apapun yang terjadi di depan.  I am oke to be not oke. Saya akan merasa baik-baik saja meskipun orang yang saya kasihi akan pergi," ujar Shahnaz lagi.

Dr. Dedy sepakat dengan apa yang disampaikan Shahnaz. Bersikap positif itu sangat perlu. Ia menambahkan, ada beberapa situasi yang membat orang mudah tertular. Salah satunya tersenyum. Jadi, tersenyumlah selalu.

Tapi bagaimana dengan protokol kesehatan yang mengharuskan orang memakai masker, apalagi di rumah sakit. "Kita bisa memakai masker dengan gambar senyum atau tawa, niscaya orang di sekitar kita akan terbawa suasana bahagia. Meski kita tidak sedang tersenyum, tapi "senyum" yang ada di masker kita akan menularkan mood baik kepada si pejuang kanker," kata dia.


Kapan sebaiknya keluarga berbicara kepada pasien tentang diagnosa dokter?


Rasanya hampir semua keluarga pernah mengalami dilema ini; takut memberitahu pasien perihal diagnosa dokter. Apakah perlu disampaikan apa adanya atau sebagian saja? Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan hal tersebut kepada pasien?

Baik Shahnaz, Alex, maupun dr. Dedy menganggap penting untuk mengenali dengan baik karakter pasien. Apabila orang tersebut melankolis dan sensitif, sebaiknya cari waktu yang tepat untuk berbicara dan dengan pendekatan yang baik. Dr. Dedy punya pengalaman ketika memberitahu ibu mertuanya yang mengidap kanker. "Beliau sangat drop waktu itu. Hanya dalam hitungan hari, selera makannya berubah. Dari yang makan banyak, tiba-tiba jadi nggak suka makan."

Namun yang dialami oleh keluarga Alex sedikit berbeda. Ibunya adalah perempuan dengan tipe apa adanya. Alexpun merasa ia orang yang cukup realistis. Ketika pertama kali sang Mama didiagnosa kanker tumor batang otak, ia dan keluarganya memang sempat kaget. Ia pun bertanya kepada dokter, "Dok, ibu saya harus dibuka kepalanya atau bagaimana?" Dokter mengiyakan.

"Tapi kalau sekarang sih, proses tindakan (operasi) sudah lebih canggih. Bisa lewat hidung, lalu ditembuskan ke bagian tengah kepala," ujar Alex. Kepada Mama kami bilang apa adanya, tidak melebih-lebihkan. Kami sampaikan begini, 'Ma, ini memang sakit. Dan menyeramkan. Tapi kita harus hadapi.' Saya juga mengajak dia berpikir realistis bahwa kalau kita diem aja malah membuat Mama lama-lama akan meninggal. 'Mama pasti dikasih bangun sama Tuhan. Mama masih dikasih bernafas. Berarti Mama diberi kesempatan untuk berjuang.' Saya nggak bilang bahwa Mama pasti sembuh tapi kita akan coba. Mama akhirnya menurut meskipun sempat ada penolakan dari keluarga besar."

"Pendekatan yang sama kami lakukan ketika Mama harus operasi kedua lima tahun kemudian. Kami nggak mau mengulang kesalahan yang sama, dimana waktu itu Mama nggak rutin kontrol ke dokter pasca operasi. Kami harus tegas. Kepada mama kami sampaikan bahwa beliau harus operasi lagi karena tumornya membesar. Pertimbangan kami, daripada kita nggak bertindak apa-apa, kondisi Mama makin lama akan makin lemah. Kami juga bilang ke Mama, 'Mama jangan merasa terbebani. Kita berdoa saja kepada Tuhan supaya dikasih yang terbaik'. Kami pun nggak bisa nyemangatin Mama berlebihan. Misalnya bilang 'pasti mama sembuh'. Kami hanya bisa berserah, berdoa, dan berusaha.

Jangan pernah Bohong ke Pasien

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun