Mohon tunggu...
Erna Eka Zuliati
Erna Eka Zuliati Mohon Tunggu... Guru - Always smiling ☺

Suci luhur kang ginayuh Rumpil gawene, Abot sanggane Nanging luhur pungkasane

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malamku di Pesantren Ramadan

20 Mei 2019   04:53 Diperbarui: 20 Mei 2019   12:23 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pondok yang selalu nampak bersih, nyaman dan asri begitu kala kami pertama mengenalnya. Pondok yang berbeda dengan yang lain, karena pondok yang kami tempati adalah pondok wisata. Pondok yang diperuntukan untuk berwisata hati. Jadi tidak heran jika pondok ini tidak seperti kebanyakan pondok dengan wajah santri yang tetap sampai bertahun-tahun. 

Seperti hari ini. Wajah-wajah sayu berjalan menuruni anak tangga sebuah ruang yang menghubungkan langsung ke ruang tamu. Namun seluet senyum kebanggaan tetap terpancar, ketika tugas sebagai santri telah mampu mereka takhlukan. 

Anak-anak yang santun tak seperti biasanya, akupun senyum dan menggumam dalam hati, "ya Allah.. kalau saja setahun ini ramadlan semua." Sementara semangat, tawa riuh, wajah-wajah yang masih cerah, peserta gelombang tiga berbondong memasuki gerbang pesantren. Mereka regestrasi dan menerima lembar aturan nyantri, kunci kamar yang harus ditempati, daftar teman kelompok yang mau tidak mau harus diterima meski mereka tidak saling mengenal. 

Demikian jeli kakak-kakak mahasiswa ini membantu kami menjalankan program kegiatan kpesantren ramadlan. Kakak ini  kebetulan adalah mahasiswa pintar yang sebagian adalah sorang hafidz, mahasiswa dari Abah  Mustofa Bisri pemilik pondok wisata ini.
Santri peserta pesantren ramadlan gelombang ketiga melai bergegas menyiapkan diri untuk menerima materi pertama. Santri putra menanggalkan semua cela dan berubah bersarung dan berpeci layaknya santri dipesantren.

 Entah energy apa yang menjadikan mereka spontan tampilan dan tidak-tanduknya drastis menjadi seorang santri yang santun. Sementara santri putri yang beberapa saat tadi kami dengan tawa riuhnya kini hanya kami lihat senyum-senyum teduh dan tubuh yang sedikit membungkuk saat berpapasan dengan kami. 

Hari ini aku harus menggantikan pemateri yang berhalangan hadir. Mungkin benar jika ada istilah jawa "Dalang ora kurang lakon"  itu mungkin yang terjadi padaku siang itu antusias anak-anak mengikuti materi toharoh, yang aku berikan dengan pemodelan dua orang anak sebagai kran air dan sebagai fulan yang sedang berwudlu ternyata sangat nenyita perhatian anak karena aksi kran wudlu yang konyol ini. Wal hasil materi menyenangkan dan tanpa terasa berjalan satu jam.

Jarum jam menunjukan pukul 17.15 WIB. Adzan maghrib sesaat lagi berkumandang.

"Dio, kok malah disini, tidak buka puasa sama teman-teman" sapaku pada Dio yang aku hafal betul karena seringnya dia lari pada saat kegiatan shalat dluhur disekolah.

"Iya bu, masih antri jadi saya ambil air wudhu dulu" jawab Dio sambil membenarkan kopyah yang diujungnya sedikit basah oleh air wudlu.
Sambil tersenyum aku lebih dekat menghampiri Dio. "Dio, cepat ya bergabung dengan teman-temanya, rupanya adzan maghrib sudah berkumandang"

Dio hanya mengangguk dan membungkukan tubuhnya dihadapanku, kemudian berlalu menuju meja yang sudah tersaji makanan buka puasa.

Setelah shalat tarawih kemudian tadarus dan kajian ayat.  Rasanya sesaat saja suasana menjadi hening dan sepi, smua santri menuju kamar untuk istirahat. Mungkin karena lelahnya mengikuti kegiatan membuat mereka cepat lelap. Namun tiba-tiba kakak pendamping menghampiri ku yang masih memegang al-quran.
"Ibu maaf, di kamar umar bin khatab anak-anak tidak bisa tidur karena ketakutan. Mareno, Fikri dan tiga temanya mengganggu teman-temanya dengan bercerita horror katanya"
Aku menghela nafas panjang
"Mbak Aisyah sudah menghubungi Gus Khenzy, mungkin bisa membantu. Biar mereka lebih enak karena sama-sama laki-laki" jawabku memberikan saran pada Aisyah.
"Saya minta Ahmad, untuk menemui Gus Khenzy Ibu" Aisyah menjawab singkat dan segera beralau dari hadapanku.
Aku membuka jendela kamar pendamping, kagetku luar biasa dihalaman pondok yang luas itu aku melihat lima orang anak yang diantaranya adalah Mareno, Fikri  bersama teman-temanya menyapu halaman ditengah malam sambil ditemani Gus Khenzy. Aku turun dan mendekati Gus Khenzy.
"Kenapa Gus?"  tanyaku mengagetkan Gus Khenzy
"Ini bu, anak-anak tidak bisa tidur katanya, mereka bercerita horror, anak-anak sekamar jadi ketakutan" Gus Khenzy menyela-nyela tawa sebelum kemudian melanjutkan ceritanya.
"Anak-anak mau nyapu bu katanya, haa..haa... Gus Khenzy sekali lagi tertawa melihat anak-anak ini. "
Adik-adik  cukup, katanya tadi lapar? Ayo ikut.."  Seru Gus Khenzy sambil memberi kode
"Yes.. Yes.. " aksi Fikri dibelakang Gus Khenzy.
"Maafin anak-anak Gus, smoga mereka besok tidak kesiangan dan mengganggu kegiatanya.
Pukul 02.00 WIB santri sudah dibangunkan oleh kakak pendamping untuk melakukan kiyamul lail. Tidak lebih dari lima belas menit seluruh santri sudah berkumpul di masjid pondok. Lagi-lagi jauh berbading dengan sulitnya mereka berkumpul untuk melaksanakan shalat dhuhur berjamaah di sekolah. Aku sengaja menuju kamar umar bin khatab untuk memastikan Fikri dan teman-temanya apakah sudah bangun.
"Maaf..  bu, anak-anak tidak mau bangun masih ngantuk katanya"
"Baik mbak, ditinggal saja biar saya yang disini" mereka tidak sahur Jelang adzan subuh mereka bangun. Namun demikian hukuman untuk merekapun harus diberikan, karena hampir separuh dari kamar Umar Bin Khatab terlambat mengikuti kegiatan gara-gara ulah Fikri dan teman-temanya.  
Pak Muslimin datang lebih awal dari jadwalnya, tanpa basa-basi langsung saja aku meminta beliau untuk menangani lima anak yang tidak mengikuti kegiatan dan sebagian anak-anak yang ada dikamar Umar bin Khatab. Belum selesia pembicaraan kami datang tiba-tiba Alifah menyampaikan jika farhan menangis  karena matanya sakit tidak bisa melek.
"Baik setelah ini pak Muslimin akan kekamarnya. Farhan diminta untuk kembali kekamar saja' Trimakasih atas informasinya mbak" jawabku
Suara dzikir Abah Mustofa Bisri yang paling mengesankan buat para santri suara merdu terdengar dari masjid.  Di gazebo Farhan sedang berbincang dengan kakak pendamping.
"Farhan pulang saja dek.. gak apa-apa biar  diantar mas Faris nanti"
"Tidak kak, saya masih mau disini sampai besok" jawab Farhan sambil menunduk
"kalo begitu, adik istirahat aja di kamar ya.."
"tidak berani" Farhan menggeleng
"Kalau begitu di sekretariat saja ya.."
Farhan berhasil dibujuk, seiring itu abah Mustofa Bisri berpapasan dengan mereka .
"kenapa matanya?" Tanya abah sambil memegang tangan Farhan dan melihat matanya.
Tapi Farhan menolak.
"Coba Abah lihat.." Abah mendudukan Farhar dikursi sekretariat kemudian meminta kak Faris untuk mengambil daun Jarak yang berada di belakang pondok yang kebetulan daunya bisa diambil dari balkon dilantai dua. Sesaat saja mas Faris membawa dua lembar daun jarak untuk mengobati Farhan  .
"Matanya sakit Abah, semalam tidak bisa tidur karena takut cerita horror teman-temanya, tapi si adik tidak mau pulang, maunya tetep ikut di pesantren sampai besok" Kak Faris menjelaskan pada Abah dengan logan Bandungnya.
"lho kan bagus, anak pinter kok.. sini Abah obati" jawab Abah dengan lembut
Beberapa saat kemudian ibu Nyai Mustofa datang diantara kami yang sejak malam tadi menghawatirkan  kesehatan anak-anak.
"Gimana Abah, apa Sudah diberi daun jarak?
"sudah, semoga saja segera pulih, anaknya sudah mau istirahat dikamarnya" jawab abah Mustofa Bisri sampil meletakkan satu daun jarak lagi dimeja dekat beliau duduk.
Bu Nyai melanjutkan bicaranya bersama kami,
"Saya itu tidak habis pikir, bagaimana bisa anak-anak yang kemarin kakinya bengkak keseleo tidak mau pulang, sampe dibujuk rayu untuk dipulangkan.  Ini lagi dari tadi pagi menangis  mata merah gak bisa melek  juga tidak mau dipulangkan"  
"Itulah keistimewaan bulan Ramadhan ini bu Nyai, saya selalu bilang bulan ramadlan ini adalah magnet bagi anak-anak dalam beribadah dan patuhnya melampaui adat kebiasaan mereka"
Semua tertawa melepas bangganya hati kami pada anak-anak, tiba-tiba bu Nyai menyela
"Padahal sebenarnya  kami juga sedang khawatir, kalau tidak mau pulang bagaimana kalau menular pada teman-temanya".
Kamipun kembali membaur dalam keindahan ini. Tawa kami tepat berbarengan ibu Tari yang muruni anak tangga dengan tergopoh.
"Bu, diatas ada anak yang sakit mata kenapa tidak diperban saja? Mana dia tidak mau pulang. Bagaimana kalau menular pada teman-temanya. Dari pada wajahnya ditutup begitu dengan daun apa tadi katanya?"
"Daun jarak bu", potong Abah cepat.
Kamipun saling pandang dan tertawa kembali. Abah Mustofa Bisri yang berada paling ujung Rupanya tak nampak oleh bu Tari.
"oo... Abah, maaf" bu Tari duduk sembari menahan malu
" jangan kuatir bu, insyallah segera pulih, karena daun jarak itu mampu menyerap setiap virus yang menyerang tubuh manusia".
"Sudah bu pinarak dulu disini, Alhamdulillah semua masalah anak-anak sudah teratasi, yang keseleo juga sudah pulang. Dan insyallah Farhan juga akan segera sembuh.."
Monggo kita bersiap berbuka...
"waah... Abah...masih jam berapa Bah" ... kamipun kembali pada aktifitas kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun