Kalau membicarakan masalah kemacetan di Jakarta, astaga tak habis-habisnya dibahas. Baik oleh mereka yang benar-benar terjebak kemacetan atau 'tanpa sadar' mengalami kemacetan. Saya katakan tanpa sadar karena mungkin saja di suatu lorong jalanan terlihat lancar dan sepi namun ternyata di ujung jalannya justru kita mendapati kemacetan yang sangat parah. Tanpa sadar kita terus saja melaju berharap di ujung jalan akan lancar kembali. Tanpa sadar kendaraan maju hanya beberapa kilometer saja dan masih di wilayah sini-sini juga.Tidak bergerak sama sekali.
Trayek Idola Blok M-Kota
Sewaktu pertama kali bekerja di ibukota sekitar pertengahan tahun 2008, macet memang sudah terjadi dan parah. Namun saya masih menemui seruas dua ruas jalanan yang tidak terlalu macet. Entah memang jalurnya belum banyak dilalui alias satu arah atau memang jumlah kendaraan belum segila sekarang. Yang jelas di antara kemacetan di jalur utama, masih terselip jalanan lain ( tikus) yang bisa dilalui dan agak bebas dari macet. Bahkan meskipun ada parkiran mobil di kiri kanannya kita masih bisa lewat dengan lancar. Tapi sekarang? Jangan harap.
Perjalanan yang seharusnya memakan waktu hanya satu jam kadang-kadang jadi molor setengah jam hingga nyaris dua jam cuma gara-gara macet. Macet di pagi hari terutama saat melintasi daerah Bendungan Hilir, lampu merah Bunderan Senayan, lampu merah perempatan Harmoni sampai daerah Kota adalah momok yang sulit dihindari. Bus kesayangan saya tak berdaya mengalahkan macet di tempat-tempat itu.
 Menaiki bus kota milik Pemerintah ini bersiaplah untuk tak kebagian tempat duduk. Selain armadanya sedikit dan penumpangnya banyak, bus ini tidak punya jadwal kedatangan yang ajeg.Jadi tak heran perebutan kursi sangatlah brutal di sini. Siapa yang mendapat posisi di sebelah kiri bus alias tempat yang adem (tak pernah terkena sinar matahari) dialah yang 'selamat'.
Saya selalu kebagian duduk di kursi penumpang yang jendelanya selalu terkena siraman sinar matahari pagi. Kalau masih melintasi sekitar wilayah Kebayoran hingga Senayan, lumayan wajah ini masih terlindung oleh deretan pepohonan yang menaungi jalanan ditambah semilir angin segar. Namun bila bus telah melintasi Sudirman hingga wilayah Kota, bersiaplah untuk terus terpapar sinar mataharinya.
Sejak dari rumah dandanan sudah rapi, berbedak dan bergincu serta pakaian licin. Lewat dari setengah jam perjalanan, situasi sudah berubah. Keringat mengucur deras akibat sorotan sinar matahari menerpa serta hawa panas di dalam bus yang makin penuh oleh penumpang.
Turun di tempat tujuan wajah telah berkilat-kilat akibat produksi minyak (sebum) dari pori-pori serta keringat bersatu padu merusak riasan wajah yang telah mati-matian ditata untuk acara rapat pagi itu. Walhasil, rapat pun sukses tertunda gara-gara ada yang terlambat. Macet yang parah dan terjadi di beberapa tempat, laju bus tersendat-sendat serta sumpeknya bus adalah kombinasi yang tepat sekaligus alasan buruk di awal pagi saat bekerja.
Mengapa Bisa Macet?
Semua  pasti tahu penyebabnya. Kalau bukan ruas jalan yang tetap dan tak berubah, sudah pasti karena makin banyaknya kendaraan pribadi yang membanjiri jalanan. Kita tak bisa menutup mata bahwa kemampuan untuk membeli mobil yang kian mudah dan murah telah menjadi salah satu faktor membludaknya kendaraan di jam-jam sibuk. Sejauh mata memandang hanya ada jutaan kendaraan pribadi yang memenuhi jalanan. Ada lebih 22.300.000 kendaraan di Jakarta yang kesemuanya berlomba memenuhi jalanan. Dan separuhnya hanya berisi satu orang saja yang ada di dalam mobilnya.
Beberapa tahun lalu ada yang meramalkan Jakarta akan macet total pada 2020. Namun penelitian terbaru menyebutkan pada 2022 Jakarta akan berhenti total. Kalau benar seperti itu, saya harus bagaimana? Sedih, pasrah, menyangkal atau segera cari solusi?
Saya yang hanya mengandalkan bus kota kadang merasa iri dengan mereka yang menaiki mobil. Betapa nyaman dan segarnya di dalam mobil meskipun terjebak macet. Mereka bisa dengan santai menghadapi macet dengan perspektif yang berbeda. Lelah akibat macet memang sama namun takarannya mungkin agak berbeda sedikit. Lelah fisik akibat naik bus kota sudah jelas akan lebih membuat produktivitas kerja menurun drastis. Paling sering adalah kepala sedikit pening dan hilangnya konsentrasi dalam bekerja.
KonsepBerkendara Bersama

Nebeng  seperti ini menyenangkan sebenarnya karena selain lebih nyaman, cepat, aman, ternyata bisa lebih irit pula. Bagi pemilik mobil, ia merasa senang ada teman selama di perjalanan sehingga kemacetan tidak menjadi sesuatu yang amat membosankan. Kami kadang ikut membayari bensin agar tak terlalu memberatkan si pemilik mobil.Â
Namun ada kalanya saya tak bisa leluasa untuk nebeng karena sang pemilik sudah punya agenda sendiri sepulang dari kantor. Saya menjadi tidak leluasa untuk nebeng. Di sinilah saya merasa bahwa sudah saatnya diciptakan suatu konsep menumpang yang sama-sama enak dan bisa sesuka hati karena dengan berbagi tumpangan 2,5 juta mobil akan berkurang di jalanan. Bahkan  bila berkurang sebanyak itu, lahan parkir yang kosong bisa kita manfaatkan untuk hal lain seperti membangun gedung penitipan anak untuk karyawan, taman atau RPRTA .
Waktu yang digunakan pun akan lebih efisien baik dalam bekerja atau bersama keluarga.
Kaum Millenial sekarang cenderung malas memakai mobil. Mereka lebih suka yang praktis dan efisien. Ketimbang bersusah payah menyetir dan menghabiskan waktu mencari tempat parkir, mereka lebih senang memanfaatkan Ride Sharing. Waktu yang ada bisa dipakai untuk hang out bersama teman. Bayangkan bila seluruhnya menggunakan konsep Ride Sharing, jalanan akan menjadi lebih luas dan lapang. Kemacetan pun pelan-pelan berkurang, meskipun macet ini ibarat simalakama. Kalau dihindari, kemacetan akan tetap terus ada. Tidak dihindari kita terus terkena dampak buruknya setiap hari. Namun setidaknya ada solusi yakni berkompromi melalui konsep menumpang bersama sehingga saat pulang bekerja setidaknya  wajah mengkilap saya berkurang minyaknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI