Mr. Y : “Lha, kenapa? Mau ngapain ke luar negeri?”
Wamenaker : “Kabur aja sekalian, nggak usah balik-balik!”
Mr. Y : “Lho, kok gitu? Harusnya kan pemerintah dengerin keresahan rakyat?”
Bahlil : “Iya, yang #KaburAjaDulu itu nasionalismenya dipertanyakan.”
Mr. X : “Lah, nasionalisme kok diukur dari tinggal atau nggaknya di Indonesia? Kalau di negeri sendiri aja nggak ada harapan, gimana mau bertahan?”
Nusron Wahid : “Betul! Mereka itu rasa cinta NKRI-nya kurang.”
Mr. Y : “Cinta NKRI itu bukan berarti nerima semua kebijakan tanpa kritik. Justru karena cinta, kita pengen negeri ini lebih baik!”
Mr. X : “Iya, serba ada, korupsi ada, nepotisme ada, kebebasan makin sempit juga ada. Tapi giliran kesejahteraan, susahnya minta ampun!”
Mr. X : “Lagian, kenapa rakyat yang #KaburAjaDulu nyari penghidupan lebih baik diributin, sementara koruptor yang #KaburAjaDulu buat mengamankan diri malah didiemin?
Sepintas, ocehan-ocehan netizen dianggap recehan. Padahal alasan-alasan mereka logis.
Kalau petinggi negara punya logika atau argumen yang kira-kira masuk akal, maka netizen juga punya logika tersendiri. Gambaran komentar-komentar itu saja menandakan bahwa kebijakan negara tidak bisa dipaksakan karena netizen punya pertimbangan yang berbeda.