Aku ingin Ayah jangan pergi. Mohon! Biarkanlah aku mendekapmu!Â
Berapa pun jauhnya yang aku tempuh, aku akan selalu mengantar ayah untuk berobat.
Rahmat Aulia, si bocah bangkitlah! Langkah gontai berhenti. Rahmat tetap semangat menemani ayahnya yang sakit.
Setiap nama Rahmat biasanya punya keyakinan teguh. Ia bukan nama sempalan; ia mengandung doa.
Semoga ayahnya yang sakit dan ayah kita semua dilimpahi rahmat-Nya. Doa mujarab untuk kesembuhan ayah. Rahmat yakin doanya terkabulkan.
Saat jari jemariku menyentuh tuts-tuts di layar ponsel, air mataku terasa berlinang. Kutahan sekuat tenaga agar air mata tidak membasahi pipi. Sebetulnya, kusembunyikan wajah senduhku di hadapan anak-anakku.
Sebelum ketahuan gerak-gerikku, saya manfaatkan sore hari, dalam suasana weekend. Haru bercampur gembira bersama anak-anak di ruangan tamu pondok mereka.
Membayangkan kisah si bocah bersama ayahnya berarti membayangkan darah daging sendiri.Â
Ayah ditemani si bocah yang piatu menjadi kenyataan hidup dengan suka duka mengiringinya.
Mumpung lagi sedang menjenguk anak-anak di pondok pesantren, maka saya sempatkan waktu sedikit untuk mencatat berita yang saya anggap penting. Tanpa dinanya, saya penasaran dengan kisah lara itu. Secara spontan, saya membaca kisah si bocah itu di salah satu tajuk di headline, di media online ternama.
Saya mengurungkan niat untuk "mematungi" tajuk menarik lainnya di media online, kecuali melirik kisah lara si bocah bersama ayahnya. Sudah seharian berita hanya menyuguhkan berita yang menegangkan. Ada berita begitu mengerikan, peristiwa pembunuhan, misalnya. Termasuk berita anyar atas vonis sekian tahun penjara bagi pelaku pembunuhan, yang menghiasi jagat medsos berbulan-bulan lamanya.