Sejauh ini, hasrat diperhadap-hadapkan dengan ego cogito. Birahi menantang logos. Esensi tidak diberikan secara percuma dari 'mekanisme penerimaan dan penolakan'.Â
Agar energi hasrat dan kesenangan berubah menjadi suatu pernyataan langsung, maka sesuatu yang lahiriah dibentuk oleh jalinan relasi antara libido dan modal, kalimat dan logika, lukisan dan teks.
Definisi hasrat (cupiditas) dan kesenangan (laetitia) telah dijelaskan dalam teks Spinoza, Ethics (1959). Menurut Spinoza, hasrat merupakan suatu esensi manusia dan kesenangan adalah peralihan manusia dari hal yang kecil ke kesempurnaan yang lebih besar (1959 : 128). Tentu saja, definisi tersebut sekadar dikutip dari salah satu dari sekian banyak filsuf tentang apa yang dimaksud dengan hasrat dan kesenangan dari filsuf besar lainnya.
Sejak obyek hasrat memiliki rangkaian tuntutan yang mendasar untuk memilih apa-apa yang dapat dialiri dengan kesenangan, relasi logika dan kalimat, libido dan kata-kata tidak lagi bertitik tolak dari penampakan yang eksklusif, melainkan pergerakannya melalui diskursus teoritis.Â
Yang dipilih melalui diskursus ilmu pengetahuan dan kesenangan terhadap tulisan adalah yang tidak berada dalam aliran hasrat.
Tetapi, di taraf relasi, seperti ilmu kimia dan parfum (teori dan konsumerisme). Dari sudut pandang ini, kita akan melihat sebuah perubahan tidak datang dari cerita-cerita yang hanya sisi terucapkan, tetapi, permainan bertopeng. Obyek menyerap tiruan mengikuti produksi melalui arus-arus permulaan dimana ia pertama kali dibentuk. Â Â
Bandingkan, situasi sekarang yang terkait dengan pergerakan arus hasrat dari ketidakhadiran cara berpikir logis formal, mirip serdadu bergerak secara teratur dan linear, dibandingkan dengan figur moneteris yang terbentuk meletakkan seluruh kurva di titik puncak menyertakan diskursus keuangan ke pernyataan-pernyataan telah diverifikasi tiba-tiba menuntut tapal batas nilai ilmiah.
Aliran hasrat apa yang bisa ditopang dengan proposisi-proposisi? Tatkala sampai saatnya kelak, jejak-jejak tanpa tubuh lahiriah akan melibatkan tapal batas pertukaran nilai, yakni nilai tanda menjadi nilai nyata berada dalam ketidakseimbangan dan ketidaksimetrisan.Â
Dalam hal ini, kelengahan tidak berarti nilainya sama dengan ketidakseimbangan, tetapi, kekosongan yang tidak terkatakan. Rezim dalam rezim.
Wilayah pembentukan diskursus teoritis tentang hasrat dan kesenangan dari sudut pandang yang lain. Dalam persfektif Deleuzean, hasrat sebagai energi dihubungkan dengan aksioma kuantitas yang abstrak bernama modal uang terjalin relasi saling mengisi antara individu dan sosial dalam rezim tanda.
Betapa ilmu pengetahuan tidak menuntut kelegitimasian atau keotoritasannya, tetapi, makna perbedaan dan ketidaksemitrisan sesuatu banyak ditemukan dalam diskursus teoritis. Sebaliknya, seringkali kita lebih melihat benda-benda diantara jejak-jejak permainan menjadi pertukaran tanda, hasrat menulis, dan kesenangan atas sinema.