Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar dari Rayuan Politik untuk Pilpres Berikutnya

14 Desember 2022   07:05 Diperbarui: 20 Juni 2023   13:56 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Prabowo dan Sandiaga (Sumber gambar: kompas.com)

Sebagian orang akan mengingat kembali betapa riuhnya pemilihan presiden (Pilpres), 2019.

Pilpres menyisakan peristiwa politik yang dinamis dan cair. Peristiwa politik datang begitu cepat sebelum ingatan lainnya datang bertubi-tubi dengan apa yang disebut permainan.

Di pusat mirip di daerah. Obrolan tentang pilpres dan pilkada sudah mencuat sekitar tiga tahun masa pemerintahan berjalan.

Gejala lain yang lazim tidak terelakkan. Pasang kuda-kuda, putar haluan, dan sebagian tetap menyatakan sebagai seorang dan kelompok yang menunggu hari dan menit terakhir babak permainan.

Ada partai politik yang menjalani satu dasawarsa sebagai "oposisi."

Ada pula yang pernah dan masih tetap akan mengulang sebagai "oposisi," di luar pemerintahan.

Satu waktu ia cukup lama menjadi oposisi, di waktu lain menjadi salah satu pengusung rezim politik yang sementara berlangsung.

Tidak ada sesuatu yang tetap dalam kesatuan langkah dan pemihakan, kecuali kepentingan.

Suatu ungkapan yang tidak aneh. Dulu mereka menjadi lawan, sekarang menjadi kawan.

Berkenaan dengan perubahan, tidak ada yang istimewa dalam pristiwa sejarah ilmu pengetahuan tentang politik kuasa.

Ada alasan para elite politik untuk mengadakan suatu pertemuan yang bertujuan untuk mencairkan suasana akibat ketegangan.

Konsekuensi dari konsolidasi perdana antar elite politik yang cukup melegakan, tetapi menimbulkan kekecewakan terutama partai, tim atau kelompok pendukungnya.

Loyalitas tidak lebih dari parodi bahkan ilusi.

Akibatnya, ada yang mencabut dukungan mereka pada tokoh pilihannya. Dari rayuan politik yang satu ke rayuan politik lainnya terus bergerak melalui pertemuan politik.

Persis pergerakan rayuan politik dari satu medium ke medium lainnya.

Kendatipun ada opini yang terbangun sebagai akibat dari pertemuan atau safari, maka ia dianggap bagian dari peristiwa politik yang penting. 

Menyangkut permasalahan tentang kepentingan bangsa atau bukan dari hasil pertemuan itu menjadi bagian dari cerita yang lain.

Telah dapat dibayangkan, dalam waktu yang tidak begitu lama akan muncul ke permukaan menyangkut figur-figur lain, yang digadang-gadang menjadi alih generasi kepemimpinan nasional yang baru. Mereka akan bermain di atas panggung politik nasional.

Di satu pihak, semacam "parodi" tatkala muncul penolakan dari satu pihak terhadap calon presiden karena dinilai tidak merakyat, misalnya. Sehingga kandidat tersebut yang dicalonkan oleh satu pihak, tetapi tidak bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat. Pihak lain, ada rezim petahana secara legitimasi politik ternyata terpilih, tetapi belum dilantik dan belum bekerja secara efektif.

Cukup berbanding lurus dengan permasalahan bangsa dan negara yang kita hadapi, maka dimunculkanlah salah satu nominasi yang menuansai proses seleksi alamiah atau rekayasa sosial. 

Biarlah seleksi kepemimpinan nasional bisa dipahami sebagai sebuah bangunan keseimbangan kuasa.

Ritus kuasa berbicara dalam kehingarbingaran politik sebagai artikulasi, melangkah pada satu babakan bahasa dengan sisi yang masih kosong. 

Kata lain, semuanya akan ada waktu untuk membolak-balikkan relasi komunikasi politik dan elite politik hingga matanya melirik pada yang lain sesuai dengan kepentingan.

Apa terpenuhi atau tidak, bergantung pada logika pragmatis yang berbicara padanya melalui “cermin” yang lebih jelas dari obyek pengetahuan berbeda sebelumnya.

Di situlah, permainan politik memantulkan "bayangannya sendiri tanpa cermin" (rayuan, godaan politik tanpa akhir). Beruntunglah ada pemain politik tangguh yang jatuh bangun dengan ruang perbincangan politik melalui santap siang atau gaya lainnya.

Kita diminta untuk membaca ‘bahasa tubuh politik’, yang membuat kita tidak mengerti apa-apa mengenai agenda pembicaraan diantara mereka.

Tidak ada yang aneh, dari setiap pertemuan ke pertemuan politik lainnya. 

Panggung kuasa yang menciptakan bayangan dari apa yang menjadi pembacaan teks politik, menarik pantulan bayangannya kembali ke struktur pembacaan lainnya.

Peristiwa itu benar-benar tidak lebih dari suatu ‘pengulangan dari perbedaan’, akibat syarat politik yang berubah-ubah.

Sehingga, tidak khayal, pembacaan atas politik yang berubah-ubah juga dinilai berdasarkan dari sudut pandang yang berbeda.

Pengulangan dalam tempo dan narasi loyalitas dalam asal-usul ilmu pengetahuan bukanlah narasi kesahihan ilmiah.

Setiap pertemuan  dan safari politik digelar, apapun strateginya, dinamika kehidupan politik didorong oleh hasrat atau kenikmatan khas yang tentu saja tidak semuanya terpikirkan.

Sebagian pihak menuduh seseorang telah melakukan suatu penghianatan dan di pihak lainnya menganggap sebagai bagian dari seni politik.

Dalam babakan pertemuan atau negosiasi itu menghasilkan parodi dan melankoli. Narasi politik MRT merepresentasikan suatu "parodi" ditandai dengan para pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin tidak bisa menyembunyikan lelucon alias tawanya.

Sebaliknya, segenap pendukung Prabowo-Sandi sebagian menampilkan rasa kecewa dan meradang, bahkan akan menarik semua dukungan padanya.

Sebagian pihak berada dalam iringan "mesin ketidaksadaran" menggiring dirinya terhadap celah tontonan politik sebagai politik.

Obyek pemujaan atas tubuh politik berupa kepentingan.

Tubuh politik merupakan rangkaian yang tidak dipisahkan dengan hasrat, kenikmatan, selera, fantasi, dan mimpi sebagai motif dalam pencapaian posisi politik bersifat prosedural (permainan berlangsung setelah Pilpres ditunjukkan dengan pembagian porsi kabinet pemerintahan).

Seluruh rangkaian tersebut dalam rayuan politik adalah mesin ketidaksadaran, seperti ajakan koalisi bagi partai politik yang belum membentuk satu koalisi.

Mengenai politik kuasa menyesuaikan dengan "mesin ketidaksadaran" (hasrat, fantasi, dan sejenisnya).

Sementara, catur politik dimainkan dalam permainan menjadi "mistifikasi" yang khas dalam dunia politik. Dalam dunia yang kita saksikan tidak lebih dari suatu permainan menuju permainan yang lain diiringi pelanggaran batas-batas. 

Tidak ada lagi politik kotor, kecuali permainan dalam perbedaan bujuk rayu politik.

Hasrat politik kuasa ‘tidak memiliki nama’ dalam permainan rayuan politik. Ia tidak pernah sepi dari industri hiburan politik. 

Pergerakan citra politik didinamisasi oleh hasrat untuk bermain menuju permukaan melalui pergerakan tubuh murni yang ditunjukkan dengan rangkaian pertemuan para elite politik. Hasrat politik kuasa dibangun, dipadatkan, dan didistribusikan secara produktif melalui tubuh.

Penyaluran energi hasrat untuk berkuasa yang lebih lunak di atas panggung, disederhanakan dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK).

Apakah cara menukik akan menyelesaikan konflik kepentingan?

Semuanya akan digambarkan melalui pergerakan rayuan politik, sejauh mana kepentingan dimainkan dalam pengulangan peristiwa yang sama sekaligus berbeda sebelumnya telah memanfaatkan isu “penambahan koalisi tergantung kesepakatan Ketua Umum Partai Politik KIK,” demikian pandangan Partai Golkar.  

Ada hal yang lumrah, tatkala partai politik pendukung  dipecundangi akan mengarah pada koalisi pemenang Pilpres menjadi ‘pengulangan tontonan dari adegan yang melimpah ruah’.

Ia laksana ‘seni erotis’. Kita mengetahui, bahwa kata-kata loyalitas dan oposisi merupakan sesuatu yang rigit dalam dinamika politik nasional.

Tidak heran, pertemuan demi pertemuan berlangsung antara Jokowi dan Prabowo, Surya Paloh selaku Ketua Umum Partai Nasdem dan Anies Baswedan, Prabowo, Ketua Umum Partai Gerindra dan Megawati, Ketua Umum PDIP dianggap sebagai bagian dari kancah perpolitikan atau dinamika politik Indonesia. 

Keterlibatan seni politik yang erotis menjadi lebih cair berkat rayuan yang bersifat mekanis.

Karena itu, rayuan politik ditandai oleh seks non manusia.

Berkat titik tolak dari hasrat berpolitik bersifat abstrak yang bergerak secara mekanis memberi rayuan demi rayuan. Kemunculan rayuan ‘bukan dari manusia’, melainkan dari politik itu sendiri "yang menubuh" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata lain, bahwa dinamika politik muncul dari ayunan rayuan politik melalui hasrat atau kenikmatan.

Seringkali kita mendengar pergerakan politik setiap saat berubah, dari hari ke jam, dari jam ke menit hingga tiba-tiba berubah dalam lima menit bukan mengikuti tempo permainan keberpihakan, tetapi permainan rayuan. 

Struktur bahasa politik dialirkan dari pergerakan peristiwa negosiasi secara teknis keseharian berlangsung di ruangan umum, rumah jabatan atau rumah pribadi, dan pertemuan informal lainnya bernuansa agak lebih santai.

Pergerakan peristiwa politik yang didukung oleh artikulasi kepentingan menjadi artikulasi yang nyata.

Ikhwal permintaan secara khusus dari Presiden terhadap seseorang yang sebelumnya dari usulan partai yang ingin bergabung dalam koalisi KIK, sekalipun orang bersangkutan belum mengakui telah menerima pembicaraan langsung mengenai pencalonan dirinya sebagai menteri.

Apabila hal tersebut tercapai, ‘pseudo-oposisi’ politik sebagai strategi permainan berarti langkah menuju koalisi nampak akan cair lantaran pergerakan rayuan politik yang menerobos perbedaan kepentingan.

Mungkin, tidak ada yang mustahil dalam dunia politik sebagai seni erotis yang membujuk rayu.

Dalam perbincangan secara blak-blakan, suatu pergerakan kepentingan instan selalu sesuai dengan rayuan politik akan jabatan, pangkat, dan kedudukan. Kepentingan instan tersebut datang dari mekanisme penyaluran hasrat yang tersembunyi melalui mata kuasa.

Satu hal atau lebih diantara sekian daftar usulan orang-orang yang akan dicalonkan untuk menduduki kursi menteri, misalnya dari partai yang akan berkoalisi dalam KIK.

Suatu hal yang cukup menarik adalah menyangkut probabilitas dari politik berada dalam ketidakpastian atas pernyataan tentang A, B, dan C ditetapkan menjadi menteri. Usulan calon yang mengisi kabinet mengikuti hasil identifikasi, bahwa salah satu calon dari kalangan profesional.

Yang lainnya cenderung masih berada dalam keplintat-plintutan, kecuali semuanya berada dalam kepastian menduduki kursi menteri.

Kalimat atau kata-kata sebagai kesatuan logika yang merepresentasikan bahasa (politik) saling mendinamisi pemikiran dengan proposisi yang mencoba untuk menguraikan apakah kata dan simbol menjadi lebih memadai atau bukan. 

Meniru teks Foucault, “Udin pergi safari politik ke pimpinan partai X besok siang” membentuk sekelompok kata. “Pimpinannya X besok siang Udin pergi” begitu rancu yang dinyatakan sebagai satu kalimat. “a/b=c/d” menjadi satu proposisi, dibandingkan dengan d/b=y tidak dapat diterima sebagai satu bangunan logika formal.

Berbeda dengan permainan bahasa politik, dimana rayuan politik sebagai sesuatu yang 'tidak terukur'. Sehingga rayuan politik bisa dibedakan, yang mana kalimat dan yang mana proposisi.

Kita juga akan mencoba untuk membandingkan dengan pernyataan Sandiaga, “Dia akan mempersembahkan amal baktinya untuk bangsa dan negara“. “Itu kan dia bilang begitu karena belum pasti. Kalau sudah pasti, dari sana lampu hijau, dia akan bilang, ’saya tergantung Pak Prabowo. Pak Prabowo perintahkan ini, saya siap berbuat untuk rakyat. Ya kurang lebih begitu, tuturnya.”

Seseorang berhasrat terhadap kursi menteri atau sejenisnya menandakan suatu rayuan politik bekerja sesuai dengan keadaan alamiah yang termekanisasi, yang kualitas yang dikuantitaskan melalui daftar usulan nama-nama calon yang menduduki menteri.

Sampai kapankah kita akan menonton sebuah episode demi episode pergerakan rayuan politik, yang masih memanggungkan figur padahal telah terbuai dengan mesin ketidaksadaran?

Suatu hal juga membuat kita masih tetap menarik nafas panjang-panjang. Ketika kursi menteri berbicara pada kita menjadi kata-kata yang masih melangsungkan ketegangan, kontradiksi atau ketidakpastian makna akan suatu pernyataan dari seseorang.

Kita melihat, ilmu pengetahuan memberikan penemuan, produktivitas dan dinamika politik sepanjang rayuan politik membebaskan dirinya dari ‘ruang kosong’. Pergerakan arus produksi rayuan seiring produksi hasrat yang melampaui analisis.

Kita juga masih dapat tersenyum selama rayuan politik tidak dilepaskan dengan demokrasi dan keadilan.

Akhirnya, setiap orang dan masyarakat masih perlu menambah kekuatan baru dari rayuan politik supaya orang-orang terbebas dari takhyul dan momok yang bersembunyi di balik pikiran kita. 

Satu hal, meskipun menjurus utopia, bahwa hasil bujuk rayu politik akan dipersembahkan untuk membangun masa depan bangsa, bukan arah sebaliknya. Akankah?

Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno masuk dalam kabinet Presiden Jokowi. Mereka punya modal politik.

Sinyal capres dari Jokowi pun untuk Prabowo. Untuk Sandiaga sempat terjaring oleh survei sebagai bakal cawapres atau bakal apalah di pilpres 2024.

Terbuka pintu untuk capres, entah itu pilihan-pilihan warga versi survei, partai politik, istana atau siapapun. Yang jelas, capres pilihan mayoritas karena dialah yang terbaik bagi masyarakat.

Saya dan bestie sepakat, jika masyarakatlah yang bisa menentukan hak pilihnya dalam pilpres mendatang. Sebagian orang dan kelompok masyarakat masih tidak ragu memainkan atau malah dipermainkan oleh suatu permainan diiringi dengan rayuan politik.

Dimana arah angin bergerak, disitu pula dia ada. Mengikuti berita di medsos atau di media lainnya tidak menghalangi untuk memilih siapa yang menjadi tambatan hatinya. Siapa-siapa saja capresnya, mereka mesti pandai"mencuri hati" pemilihnya.

Rayuan politik menjalankan fungsinya untuk mengendalikan birahi represif, insting untuk menghancurkan atau hasrat untuk politik 2024.

Masa depan bangsa kita tidak dapat dilepaskan dari pergerakan rayuan politik.

Karena titik itulah, memungkinkan kita akan dapat berbicara dan bergerak bebas setelah semua pihak mengetahui tentang ironisnya seseorang yang menempuh jalan “bunuh diri” dalam kehidupan politik tanpa diselingi oleh rayuan politik. Atau, kita tidak ingin mencoba bermain-main dengan rayuan politik.

Dari orang-orang yang tidak ingin mengambil banyak pusing tentang perpolitikan di tanah air begitu aneh, karena mereka melawan kodratnya sebagai manusia yang melekat dalam dirinya, yaitu hasrat sebagai energi. 

Rayuan politik datang melalui energi hasrat yang bergerak secara mekanis menampakkan dirinya melalui koalisi politik, bagaikan pelangi menghiasi kehidupan kita.

Rebutlah dunia ini dengan rayuan politik! Jika tidak, masih ada energi kehidupan yang lain akan membuat Anda terbujuk rayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun