Lalu, siapa wasitnya saat terjadi perseteruan yuridis-politis? Kembali lagi pada soal konstitusi.
Sejak dini, Slavoj Zizek, filsuf dan kritikus Slovenia memperkenalkan faktor yang mendorong seseorang malang-melintang di dunia politik yang menggoda dengan segala intrik dan manuver yang dimainkan.
Faktor pendorong itu disebut dalam istilah politics of jouissance (politik kenikmatan). “Politik kita secara langsung lebih merupakan politik kenikmatan dengan cara meminta, mengontrol, dan mengatur kenikmatan,” kata Zizek (2006 : 309).
Politik kenikmatan dalam persfektif Lacanian, yaitu suatu kenikmatan yang melampaui fantasi dan dominasi politik kuasa.
Itulah mengapa rerata kalangan politisi asyik masyuk bermain dengan wacana kuasa. Mereka terasa berada dalam kenikmatan yang memuncak jika setiap wacana, ide atau isu menggelegar dan menggema keluar.
Apalagi terus-menerus ditanggapi dan membuat pihak lain tertantang dan terangsang.
Seseorang yang tersihir politik kenikmatan dalam dirinya agak mengganjal dan terasa kurang bumbunya jika tidak bermain atau bermanuver ria.
Jika ingin para penikmat politik cair dan dinamis, maka sudah tugas politisi untuk memainkan perannya dalam mengubah keadaan jumud menjadi bergairah. Mereka mampu meringankan beban politik yang menjanggal dengan menyentil bagian sensitif. Seperti menyentuh organ seks.
Meskipun alasannya tidak cukup, para elite negara bisa bermain untuk menyentuh bagian mana paling “genit” antara pihak yang mendukung dan menolak wacana tentang penundaan pemilu.
Ketika elite politik ingin mengubah cara berpikir lazim atau yang itu saja menjadi tidak lazim. Mengenai apa dampaknya nanti belakangan. “Politisi kenikmatan” mencoba mengintip untuk mengetahui warna suara atau motif “kelamin” yang dimiliki pihak lain.
Suatu saat, ada hal yang tidak lazim dikemukakan di hadapan warganet, bahwa wacana dan uang anggaran politik adalah “kelamin” non-manusia dilihat dari sudut pandang lain.