Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Homo Intellectus, Apa yang Bermasalah?

30 September 2022   09:05 Diperbarui: 8 Oktober 2022   06:38 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : id.quora.com

Boleh saja seseorang berbeda ketika menyatakan sarjana belum tentu intelektual. Serupa, tetapi tidak sama antara sarjana dan intelektual.

Sosok intelektual bergelut dengan pemikiran dan kehidupan. Sarjana merupakan gelar akademik, yang menyelesaikan perkuliahan.

Sosok intelektual tidak mutlak mengecap dunia pendidikan formal yang tinggi. Sarjana sudah merampungkan jenjang pendidikan formal yang tinggi.

Kini, bergelar sarjana itulah yang parah di negeri ini lantaran di atas lima puluh persen sebagai tersangka kasus korupsi.

Pantasan ada pernyataan 'darurat korupsi' di Indonesia. Bukan main, ironi ditujukan terhadap bidang pendidikan.

Teringat dengan ungkapan seorang teman di suatu hari. Dia mengatakan, sekarang orang tidak bisa lagi dibedakan, yang mana bersekolah, bergelar sarjana dan mana yang bukan. Bayangkan, jika yang bergelar sarjana saja berprilaku koruptif.

Kadangakala terbit dalam benak kita, bisa jadi juga kita bagian dari sebuah 'lingkaran setan korupsi', di lingkungan masing-masing, tempat dimana kita berkiprah.

Nurul Ghufran, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap tentang perguruan tinggi turut menyumbang koruptor. 

Tercatat, 86 persen koruptor yang ditangkap oleh KPK adalah lulusan perguruan tinggi. (kompas.com, 27/08/2022)

Setiap lulusan perguruan tinggi berarti sama dengan orang yang bergelar sarjana. 

Ternyata bukan oknum sarjana atas kasus korupsi karena angkanya tinggi.

Dari data yang ada, apakah prilaku koruptif yang dilakukan oleh oknum lulusan perguruan tinggi hanya merupakan permasalahan yang bersifat kasuistik? Jawabannya tidak kan? Lihatlah angkanya!

Pemberitaan skandal korupsi melalui media boleh dikatakan cukup mengejutkan sekaligus menyebalkan bahkan mengerikan.

Apa jadinya jika kaum terpelajar atau kaum intelektual yang tidak memiliki integritas. Sedangkan orang yang bergelar sarjana saja berprilaku koruptif. 

Lalu, bagaimana orang yang bukan bergelar sarjana? Wajah kita seakan-akan tercoreng moreng; ingin ditaruh kemana lagi wajah ini.

Segala embel-embel kesarjanaan dipertaruhkan di hadapan kehidupan dan pemikiran. 

Terbayang pula di tahun yang silam, ketika orang yang bergelar sarjana, bersekolah tinggi dari institusi penyelenggara pemilu terjerat hukum gegara korupsi.

Ngeri-ngeri sedap, istilah Sutan Batugana. Sudah berapa banyak terjerat hukum dari penyelenggara negara. 

Beberapa kepala daerah telah tersangka korupsi, yang rerata berlatarbelakang pendidikan sarjana.

Menambah daftar panjang prilaku koruptif dari sekian jumlah oknum pejabat yang bergelar sarjana menyeret diri mereka ke atas panggung mahkamah sejarah, yang memulai masa keruntuhan intelektual. 

Sejak lama, seperti buku berjudul Korupsi, karya Mochtar Lubis kembali mengingatkan kita tentang akar-akar kesejarahan dari korupsi.

Singkatnya, pejabat yang bergelar sarjana tersangka korupsi menjadi satu proses pembelajaran penting. Wajah tanpa bayangan dalam cermin. 

Setelah lenyap dalam masa depan ilusi, ternyata citra sarjana dari oknum pejabat tidak sementereng saat runtuh atau rusaknya mental mereka sendiri.

Kepala mereka dipenuhi dengan perhitungan rasional tentang kemakmuran material, tetapi mentalnya diperbudak oleh tanda kepangkatan atau jabatan, berikatan dalam godaan uang. 

Sehingga koruptor pun mempermalukan gelar sarjana yang disandangnya. 

Setiap orang yang bergelar sarjana, di depan dan di belakang namanya menandakan status  yang dimilikinya.

Pandangannya maju kedepan, tetapi mentalnya menjadi tawanan masa sesaat atau jangka pendek.

Mereka digoda oleh uang, jabatan atau melalui jabatan dan kedudukan itu sendiri di tengah kehidupan materi. 

Dunia idealnya tenggelam dalam kegemerlapan gaya konsumsi, titik dimana mereka terperangkap dalam kenikmatan yang memuncak.

Peristiwa kemunculan skandal korupsi yang didukung oleh data berdasarkan metode tertentu, yang bergerak dari satu kasus menuju kasus lain yang berlipatganda, menjamur, berdiam sejenak, dan berkambuh kembali. 

Selama nafsu menggoda, selama itu pula seseorang atau lebih digoda oleh materi uang dengan jabatannya akan melemparkan dirinya dalam kekosongan yang tidak terkira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun