Tetapi, terorisme tidak identik dengan kecerdasan atas kejahatan. Terorisme, akhirnya ditandai dalam kegilaan yang terpikirkan.
Kata lain, para teroris dan terorisme datang dari struktur kecerdasan. Dari situlah, kita berbicara mengenai peristiwa
Peristiwa besar melalui serangan terorisme bukan berarti susunan kata-kata beracak dengan benda-benda. Misalnya: "x tidak akan meneror y," "x membunuh x itu sendiri," "y1 tidak trauma oleh serangan teroris x1, "y1 yang trauma oleh terornya sendiri." Terorisme muncul karena ekses dari kelimpahan pengulangan.
Ia muncul pertama kali bukan dari perbedaan dan pertentangan satu sama lainnya. Begitulah paradoks terorisme.Â
Teroris bukanlah yang selalu membawa bom, tetapi orang-orang yang masih berada dalam kesadaran. Kegilaan atas terorisme datang dari struktur kecerdasan.
Suatu saat, yang pada akhirnya tidak ada lagi "perang melawan terorisme."Â
Karena itu, kata-kata itu akan menghilang dalam 'diskursus kegilaan', yang betul-betul tidak gila secara psikis. Tetapi, pemikiran dalam kegilaan yang keluar dari prasangka dan balas dendam. Suatu kegilaan muncul di antara teka-teki yang tidak diketahui dan sudah terkuak.