Dunia ini benar-benar tidak aneh, malahan suatu keajaiban. Teks yang memanggil kita dalam kenikmatan dibalik serangan teroris.
Tidak menandai sejarah berarti kita tidak mengenali, menganalisis, mengidentifikasi, dan menentukan jalan hidup kita.
Terorisme lebih berpikir melalui sel-sel atau jaringan sirkuit otak kita telah disibernetisasi 'lebih nyata' dari wujud alamiahnya. Jaringan tanda teror senyap ada didalamnya, dalam "Aku membunuh, maka aku bahagia," "Aku mencium aroma musuh, maka aku ada."
Dalam fantasi para teroris dan terorisme, tidak ada lagi istilah "menjadi binatang."Â
Di situlah, kekuatan aksioma dari terorisme tidak lebih perhitungan kekerasan nalar.
Terorisme menjadi 'kejahatan kreatif'. Bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan oleh kaum teroris ditandai dengan perhitungan jumlah korban serangan bom.
Mereka tidak menghitung berapa jumlah korban dari sudut pandang kuantitatif apalagi secara kualitatif.
Baik terorisme internasional maupun terorisme negara (jika kedua bentuk terorisme disetujui) hanyalah bentuk kekerasan konsep yang harus ditinggalkan saat ini juga.Â
Kembali pada peristiwa besar, tidak ada cara lain, kecuali "bunuh diri" kegilaan. Orang-orang yang tidak memiliki doktrin dianggap bukan teroris dengan pergerakan terorganisir.
Sebelum dan sesudahnya, terorisme 11 September tidak lebih dari "tarian kematian" atau "nyanyian rindu" di balik aksi teroris sebagai sesuatu yang sulit digambarkan.
Mereka tidak menyesal karena buat apalagi menghitung kembali jumlah kekerasan demi kekerasan berujung pada kematian yang indah melalui terorisme.