Badan Litbang Kementerian Agama pernah mencoba untuk melacak jejak-jejak perkembangan Islam "Liberal" di Indonesia.
Di sini, saya tidak untuk mengurai apa yang dimaksudkan oleh Balitbang Kemenag. Sekadar mengutip pada hal-hal yang berhubungam dengan khazanah Islam "liberal."
Pak Jenderal Dudung tidak berarti identik dengan JIL dan tokoh-tokoh "liberal" lain. Dia melihat ada sesuatu yang membuat bangsa sudah tidak sesuai dengan realitas kebangsaan mutakhir.
Apa yang kita hadapi, diantaranya 'ujaran kebencian' dan ketidaktoleran' antara satu dengan lain.
Pak Jenderal Dudung menyeru pada pemikiran baru tanpa belenggu pemahaman yang dogmatis. Bagaimana pentingnya penghargaan atas perbedaan atau keragaman, dan perjuangan nilai-nilai demokrasi, yang begitu selaras dengan kehidupan bangsa.
Persis, sesuatu yang 'gila' tidak harus menjadi Descartes atau Nietszche. Memilih pemikiran "Kiri" tidak mesti menjadi Marx. Hal menarik, orang lebih memilih kerangka berpikir filosofisnya, ketimbang semata-mata pemikiran ideologisnya.
Sosok Jenderal Dudung dengan gayanya, bukan mustahil ada interupsi dari pihak yang tidak setuju dengan pernyataannya. Setiap pernyataan yang aneh dan berbeda dari yang lain memiliki tanda konsekuensi.
Pernyataan mesti tidak mutlak menggunakan kata "setiap" sebagai kelaziman menjadi ketidaklaziman.
Menyangkut pernyataan lain "do'a dalam bahasa Indonesia" dari pernyataan Jenderal Dudung menuju contradictio in terminus, yaitu suatu pertentangan dalam penggunaan istilah, yang disalahpahami oleh sebagian orang.
Kita bisa cermati pernyataan Jenderal Dudung, ketika kemapanan metodologi ijtihad tidak seiring dengan pernyataannya yang diinterupsi, karena analogi Tuhan mengarah pada personifikasi orang Arab.
Kita sadar, Jenderal Dudung tidak menjurus pada penilaian dan pemikiran rasial. Cukup sudah rasialis di negeri kita!