Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Maafkan Aku, Relawan Menandaiku Demi Hasrat untuk Kuasa

4 September 2022   11:03 Diperbarui: 8 Oktober 2022   22:39 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kompas.com, 31/07/2022

Meski berulang kali Presiden Jokowi menolak masa jabatan presiden tiga periode, tetap saja relawan pendukung tidak bergeming dibuatnya.Jadi, lumayan nikmat memangku masa jabatan presiden dua periode? Tiga periode masa jabatan presiden apa lagi, ya pak?

Bagi yang kontra, cobalah tarik nafas pelan-pelan dan lihat ke cermin! Pantulan gambar jelas dan nyata dengan dua hal: konstitusi dan suara rakyat lewat survei.

Tidak bermaksud ngipas-ngipas tiga periode masa jabatan presiden. Mereka cuma menganggap presiden yang sekarang belum ada yang menyamai dari seluruh bacapres, yang ramai dibicarakan.

Apakah anak-anak relawan berbahaya? Yang berbahaya itu cara berpikir kita. Bukan karena mereka abai pada konstitusi. Mereka bergairah untuk memikirkan bangsanya. Indonesia.

Relawan tidak dipaksakan atau memaksakan diri dan tidak terkontrol. Hasrat untuk kuasa hanya akan berbahaya jika hanya sekadar eforia dan ketidaktelitian yang berlebihan.

Pernyataan itu mudah-mudahan bukan 'kengototan'. Relawan menilai ide dan wacana tiga periode masa jabatan presiden memicu suara dukungan rakyat anjlok.


Atas nama demokrasi memang sah-sah saja soal wacana tiga periode. Tetapi, sebagai ide dan wacana tiga periode masa jabatan presiden nampaknya belum sirna.

Terjadi penolakan, itu konsekuensinya. Akan lebih anggun dan tanpa mengurangi rasa hormat, jika tiga periode masa jabatan presiden hanya sampai di tenggorokan saja.

Sesungguhnya, bukan berkali-kali. Projo, fans berat, dan pakuyuban lain dijuluki oleh sebagian orang sebagai Jokowers totok berubah menjadi pecandu tiga periode masa jabatan presiden.

Istilah dari teman di masa yang sudah berlalu buat bung, para relawan. "Apa bukan buang-buang air liur." Suatu ungkapan yang kedengarannya agak carut.

Karena itu, ingin ditaruh kemana wajah relawan, jika ngebetnya pada tiga periode masa jabatan presiden sekadar lelucon? Pas, Presiden Jokowi ingin taat konstitusi, ternyata belum titik. Pernyataan tersebut terekam di ruang publik.

Alih-alih pemandu sorak, yang terjadi pada mereka justeru malah repot sendiri, karena tidak begitu paham apa sebenarnya yang mereka maksud dengan konstitusi dan suara rakyat penuh sesak.

Melimpah ruahnya kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi untuk ide dan wacana tiga periode masa jabatan presiden adalah hal yang nyata. Sebaliknya, sama adanya dengan suara penolakan terhadap tiga periode masa jabatan presiden.

Harap dimaklumi kegirangan kami sebagai relawan Jokowi. Sebagian Jokowers, nggak sekolah demokrasi secara tuntas. Belajar pendidikan politik cuma dari bapak-bapak politisi, dari perpolitikan pemilihan desa, dari buku, dan dari aksi di jalanan.

Karena cekaknya bekal pengetahuan, mana bisa kami paham apa dampak tiga periode masa jabatan presiden. Yang tahunya asal mendukung sana sini.

Ada alasan mereka di luar ingar-bingar politik, yaitu kinerja pemerintahan Jokowi dinilai bagus berdasarkan sekian survei. Begitulah alasan yang menghibur bikin relawan percaya diri.

Pihak luar mengajukan pertanyaan pada relawan yang menyebut tiga periode Jokowi. "Eh, kami tidak bicara politik." "Kami mendiskusikan permasalahan bangsa, semisal isu kemiskinan dan ketahanan pangan."

Begitu pula dari pihak relawan menanggapi lain. Pernyataan keras dari luar juga menggema. "Turunkan Jokowi!" Berseloroh pula orang dengan mengatakan itukan bagian dari demokrasi.

Keadaan linglung menjauh dari kami sebagai relawan. Apa jadinya ide dan wacana tiga periode masa jabatan presiden mulai tarik-menarik lagi menyatakan politik kuasa hanya sekejap mata.

Satu-satunya lekukan seni di dunia politik adalah bagaimana cara untuk menyalurkan hasrat untuk kuasa, sekalipun ia hanya sekejap mata. Ia muncul dan lenyap, ia bergerak dan berubah dengan caranya sendiri.

Bagi kaum moderat akan menanggapi tentang tidak perlu penjelasan rumit tentang mana yang pro dan mana yang kontra tiga periode masa jabatan presiden. Kita melihat relawan itu sebagai bentuk kepedulian pada masa depan bangsa. Relawan mencoba meretas kebuntuan politik.

Sudah cukup alasan, jika sebaiknya semua elemen bangsa turut menyukseskan Pemilu 2024. Saya juga tidak mengatakan, bahwa begitu jawaban persis seorang relawan. Ini tidak lebih dari penafsiran tentang keadaan yang kita hadapi sekarang.

Saya kira tidak keliru, jika kita belajar sejenak dari beberapa hasil survei, yang sudah dirilis mengenai ketidaksetujuan publik terhadap tiga periode masa jabatan presiden di negeri ini.

Sejumlah survei menyatakan rerata persentase di atas lima puluh persen masyarakat menolak tiga periode masa jabatan presiden. Apa mau dikata.

Belum lagi opini perorangan. Seperti Denny JA (2022) dalam postingan Fesbuk dan media daring menyatakan serangkai dengan ide dan wacana penundaan pemilu, tiga periode masa jabatan presiden pun tidak cukup alasan, yang jika itu "dipaksakan" akhirnya akan menjadi skandal politik.

Sambil berlapang dada dari setiap pihak. Adalah setiap orang berbeda pilihan politik itu perlu dihargai sebagai bagian dari demokrasi dan wacana politik.

Bukan juga bermaksud untuk menafikan hak berbicara yang lain tentang ide dan wacana tiga periode masa jabatan presiden.

Patut diakui, para relawan tidak melontarkan ide dan wacana iseng. Mereka bicara apa adanya. Cuma dalam kondisi kekinian, semua pihak masing-masing menahan diri dengan belajar bertindak secara bijak.

Tidak cukup sampai di situ. Sekarang, berkat ide dan kreativitas para relawan akan menggelar Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia, dari satu tempat ke tempat lain. Bukankah momentum Musra besutan para relawan menjadi tanda ekspresi bagi Presiden Jokowi dengan ide dan wacana politik, tiga periode masa jabatan presiden tiba-tiba menyeruak kembali ke permukaan?

Ini betul-betul peristiwa politik yang cair dan dinamis. Mempesona lekukannya, hasrat untuk kuasa menggodanya.

Sebelum ditutup catatan ini. Selain ahli semiotika yang mencoba menafsirkan kata-kata Presiden Jokowi lantaran tidak menyatakan secara tegas tentang ide dan wacana tiga periode masa jabatan presiden.

Semestinya juga, para relawan tanpa latah mengundang ahli psikologi, ekonomi, hukum hingga filsafat untuk membicarakan seputar ide dan wacana yang sama.

Lumrah saja, dalam dorongan hasrat untuk kuasa. Siapa saat ini yang menjamin dirinya terbebas dari hasrat untuk kuasa dalam pengertian luas?

Paling tidak, hasrat untuk kuasa sebagai tanda perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak berpikir ke berpikir atau mulai berpikir.

Jika tidak demikian, diri kita perlahan-lahan akan dilahap oleh kuasa lain, akan direnggut oleh monster pikiran, yang membuat diri kita tidak bebas menentukan pilihan. Tanpanya, kita masih tetap terbelenggu oleh bayangan kuasa di luar diri.

Sudah tentu, untuk bisa keluar dari bayangan kuasa, maka relawan perlu menjadi diri sendiri. Orang boleh saja menilai relawan sebagai 'pusat gravitasi' politik. Relawan tetap teguh untuk tidak menjadi siapa-siapa.

Secara esensial, hasrat untuk kuasa negara toh apalagi sosok presiden merupakan anugerah sekaligus ujian. Relawan melihat abnormalitas adalah orang yang tergila-gila untuk nyapres, tetapi tidak tahu apa yang akan dipikirkan dan dilakukan.

Relawan tidak rela melihat orang yang berhasrat untuk kuasa, tetapi tidak mengetahui tentang sudah berapa besar dukungan nyata dari semua arah, dari semua lapisan.

Relawan menerobos penampilan relawan lain. Siapa yang tidak memiliki hasrat? Siapa yang tidak berkuasa untuk mengontrol diri sendiri?

Membayangkan bagaimana jika diriku kagum pada hasrat untuk kuasa. Anda mabuk kepayang. Kami pun ikut bingung setelah menikmati belepotan kata-kata sebagaimana tersebut di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun