“Aku nggak mau terlihat banyak mengeluh Ran, hidup ini nggak bisa hanya berisi keluhan. Aku ingin berada di tempat dimana orang-orang di sekitarku bahagia dan nggak anggap aku beban karena banyak mengeluh,” jelas Ayna menunduk sendu.
Rani terdiam atas penuturan Ayna, tak pernah terpikirkan Ayna yang selalu membuatnya kagum karena kepintaran dan kebaikan yang terpancar dalam dirinya ternyata menyimpan duka amat mendalam.
“KRINGG,” bell sepulang sekolah berbunyi. Seluruh siswa dan siswi berhamburan pulang ke rumah masing-masing.
Ayna, menjelajahi jalan setapak dengan berjalan kaki menuju rumahnya. Sebuah rumah kecil bercat hijau yang sudah tampak pudar serta lantai tak beralas ubin.
“Ibu, aku mau ganti baju dulu abis itu kita jualan bareng,” Ayna segera melepas sepatu sekolahnya, tak lupa menggantung ranselnya dengan rapi.
“Hati-hati, Nak.” Kata Ibu Ayna mengingatkan.
Kehidupan Ayna jauh dari kemewahan, itulah sebabnya Ayna berusaha begitu keras belajar. Ayna ingin berusaha menjadi kebanggaan untuk kedua orang tuanya. Meski bukan dari kalangan berada Ayna selalu yakin bahwa masih banyak jalan untuknya dalam mewujudkan cita-cita.
Tanpa diketahui teman lainnya, ternyata seorang Ayna mencari pundi-pundi rupiah dengan tetes keringatnya. Menempuh jalan berjualan kue bersama ibunya agar tetap bisa bersekolah. Lantas, seusai berjualan Ayna harus belajar mengulang materi di sekolah.
Walaupun ujian belum tiba, Ayna akan tetap belajar dengan sangat giat. Ayna menjadikan belajar sebagai kebahagiaan tersendiri karena Ayna percaya Tuhan selalu melihat tiap perjuangan hambanya.
“Ya Allah, kuatkanlah Ayna. Ayna ingin bisa menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi dan bisa berkuliah hingga menjadi seorang Guru,” batin Ayna.
Beberapa orang begitu beruntung menjalani kehidupan yang berkecukupan, berbeda dengan Ayna yang harus mati-matian diusia belia. Hal ini mengingat keadaan ekonomi keluarga Ayna yang masih serba kekurangan.