Petir di atas sana saling menyapa, saut menyahut. Malam ini hujan deras di desa kami. Malam yang terasa panjang untuk dilewati. Hawa dingin seakan-akan menusuk kulit menembus tulang. Ini bukan lebay, tapi memang betulan dingin. Â
Seharusnya malam ini orang-orang bersuka cita, duduk-duduk santai bercengkrama dengan secangkir kopi. Dan toples berisi kue dengan beraneka macam bentuk dan rasanya terpajang rapi di meja ruang tamu. Iya itu di rumah tetangga. Tapi malam ini hujan deras. Jadilah kue-kue itu dimasukkan kembali ke dalam lemari.Â
Sayup-sayup terdengar suara takbir berkumandang di masjid desa kami.Â
"An, bisa bantu Nenek sebentar." Suara panggilan Nenek membuyarkan lamunanku.Â
Aku membantunya memasak opor ayam. Masakan ini wangi sekali, masakan Nenek memang selalu enak, tidak tertandingi.Â
"Besok pagi-pagi buta sebelum matahari terbit, kita langsung beres-beres rumah biar tidak kesiangan buat ke makam," tuturnya. Nenek masih fokus dengan centong kuah ditangannya, asik mencicipi kuah opor takutnya masih ada yang kuras pas.Â
Setelah semuanya selesai. Selesai cuci piring, selesai masak opor ayamnya. Lalu disimpan di atas meja.Â
Aku mulai menguap. Pamit pada nenek kalau aku akan tidur lebih awal.Â
Jika bagi sebagian orang, malam hari raya adalah malam yang penuh kebahagiaan suka cita, benar, aku setuju soal itu. Tapi sayangnya setiap orang memiliki cerita hidup yang berbeda-beda, masalahnya pun beda-beda.Â
*****
Malam itu 6 tahun yang lalu.Â