Pengaruh Bahasa Gaul terhadap Kemampuan Bahasa Formal Pelajar di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi kalangan mahasiswa saat ini. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) bukan hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga tempat berinteraksi, berekspresi, dan bahkan belajar. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan komunikasi yang ditawarkan pada gadget, muncul fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan: semakin dominannya penggunaan bahasa informal atau bahasa gaul yang cenderung mengabaikan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana media sosial memengaruhi kemampuan berbahasa formal para mahasiswa?
Fenomena Bahasa Gaul di Media Sosial.
Media sosial memberikan ruang yang sangat besar bagi mahasiswa untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas, termasuk dalam hal bahasa. Istilah-istilah kata seperti "bucin" (budak cinta), "gabut" (tidak ada kegiatan), "santuy" (santai), hingga singkatan-singkatan seperti "OOTD" (outfit of the day) dan "FYI" (for your information) menjadi bagian dari keseharian. Bahasa ini sering digunakan dalam komentar, caption, pesan, bahkan tugas-tugas kampus yang bersifat tidak resmi. Tren ini sebenarnya merupakan bentuk kreativitas linguistik, yang mencerminkan dengan adanya kedekatan mahasiswa dengan budaya digital global. Namun, jika tidak diimbangi dengan pemahaman dan latihan berbahasa formal, kebiasaan ini bisa berdampak negatif pada kemampuan mereka dalam konteks akademik maupun profesional.
Dampak terhadap Kemampuan Bahasa Formal.
Penggunaan bahasa informal secara terus-menerus dapat menurunkan sensitivitas pelajar terhadap beberapa struktur kalimat yang benar, ejaan, dan pilihan kosakata yang sesuai. Banyak dosen mengeluhkan bahwa tugas-tugas kini mulai dipenuhi kata-kata gaul dan singkatan yang tidak tepat dalam konteks tulisan formal. Selain itu, kemampuan membuat esai, surat resmi, atau laporan ilmiah pun menjadi lemah karena minimnya latihan berbahasa sesuai kaidah.
Lebih dari itu, lemahnya kemampuan berbahasa formal dapat memengaruhi performa mahasiswa dalam ujian tulis, presentasi akademik, hingga seleksi beasiswa dan pekerjaan. Padahal, penguasaan bahasa formal merupakan keterampilan penting dalam dunia pendidikan dan karier.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kerja sama antara dosen, kampus, dan orang tua dalam membangun kesadaran berbahasa yang seimbang.Dosen dapat memberikan penugasan yang melatih kemampuan menulis formal sekaligus membahas fenomena bahasa digital secara kritis. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kerja sama antar sesama dalam membangun kesadaran berbahasa yang seimbang. Guru dapat memberikan penugasan yang melatih kemampuan menulis formal sekaligus membahas fenomena bahasa digital secara kritis. Pihak kampus bisa menyelenggarakan pelatihan atau lomba menulis. Selain itu, edukasi literasi digital sangat penting agar mahasiswa mampu membedakan konteks: kapan boleh menggunakan bahasa santai, dan kapan harus menggunakan bahasa resmi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI