Mohon tunggu...
Erina Hertanti
Erina Hertanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Geography and Environmental Science UGM 2011

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arah Kebijakan BKKBN Dulu, Kini dan Nanti

7 Oktober 2014   19:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:02 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BKKBN bukan merupakan badan pemerintahan yang berumur jagung namun sudah berdiri sejak lama. Bermula dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) kemudian adanya pembentukan lembaga yang bernama Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN). Pada saat Periode Pelita I (1969-1974) dibentuklah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970 hingga pada akhirnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional berubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan diterbitkannya Undang Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dari awal terbentuk hingga saat ini BKKBN masih fokus terhadap program Keluarga Berencana (KB) meskipun saat ini sudah mulai dijalankan program-program lainnya seperti program GenRe yang sedang gencar-gencarnya dipromosikan. Di Era kepemimpinan Soeharto program KB dinilai sangat berhasil. Hal ini karena tidak mudah memang untuk menghilangkan budaya “Banyak anak banyak rejeki”, mengingat dahulu masyarakat Indonesia masih banyak yang memiliki lahan pertanian dengan luas berhektar-hektar sehingga membutuhkan banyak anak sebagai tenaga kerja keluarga tanpa harus mengeluarkan upah untuk membantu mengolah sawah. Kenapa Pengendalian Laju Pertumbuhan Penduduk Penting? Pada seminar yang pernah saya ikuti, masih terbayang ilustrasi mengenai ledakan penduduk yang disampaikan. Ibarat teratai yang tumbuh di suatu kolam di hari pertama kedua dan seterusnya hanya bertambah sehelai demi sehelai daun. Namun suatu ketika kolam akhirnya penuh tertutupi oleh daun teratai. Hal ini yang mengibaratkan bahwa jumlah penduduk selalu bertambah setiap tahunnya, sedangkan luas lahan akan selalu tetap. Ditambah saat ini Angka Harapan Hidup (AHH) semakin tinggi. Artinya bahwa jumlah kelahiran yang ada tidak mungkin diimbangi dengan terjadinya kematian karena tolok ukur pengendalian jumlah penduduk dikatakan berhasil disaat angka kelahiran dan kematian rendah. Luas daratan negara ini yang mencapai 1.910.931,32 km² memang masih sanggup menampung penduduk yang selalu bertambah dan diiringi kebutuhan permukiman yang semakin meningkat. Namun persoalannya terletak pada persebaran yang tidak merata dan ancaman beberapa tahun kedepan. Ancaman tersebut sudah mulai dirasakan saat ini seperti pengangguran, kerentanan pangan, kemacetan transportasi, sampah, alih fungsi lahan, dan masih banyak ancaman persoalan lain akibat pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali. Memang pada suatu titik nanti perlu dilakukan evaluasi apakah sebaiknya angka kelahiran ditekan atau dinaikkan, artinya kebijakan yang ada nantinya disesuaikan dengan kondisi negara. Seperti Cina dan India yang saat ini sedang gencarnya menekan angka kelahiran, dilain sisi Singapura yang memiliki laju pertumbuhan penduduk rendah justru berusaha untuk meningkatkan kelahiran. Namun untuk saat ini saya rasa di Indonesia angka kelahiran masih harus terus ditekan sehingga penduduk dapat tumbuh seimbang. Salah satu langkah tepat BKKBN adalah dengan adanya Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang nantinya akan mendorong perempuan untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi sekaligus mendorong perempuan untuk masuk ke pasar kerja. Keberhasilan program pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia membuat struktur umur penduduk berubah. Jumlah penduduk usia muda (0-14) menjadi semakin kecil, penduduk usia produktif (15-64) semakin besar dan jumlah penduduk lanjut usia (65+) lebih sedikit jika dibandingkan dengan penduduk usia produktif sehingga angka ketergantungan atau dependency ratio menjadi semakin kecil. Hal inilah yang membuat Indonesia akan memetik bonus demografi yang menurut United Nations dalam World Poupulation Prospect akan terjadi pada tahun 2020 hingga 2030. Namun pemerintah Indonesia tidak boleh puas dengan pencapaian ini karena masih banyak PR terkait dengan kuantitas dan kualitas SDM. Kembali lagi ke Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera Wilayah di Indonesia memiliki karakterstik yang beragam. Sama halnya dengan kondisi demografinya, dari wilayah Sabang hingga Merauke yang memiliki memiliki tingkat kepadatan penduduk berbeda. Pulau Jawa memiliki pusat-pusat perkantoran dan perekonomian serta kemudahan akses sehingga memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi. Lalu kenapa program KB tidak hanya diberlakukan di wilayah padat penduduk saja? Apa untungnya program KB untuk masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang membuat BKKBN perlu lagi untuk kembali menekankan lagi bahwa program KB tidak semata-mata untuk kepentingan pemerintah. Program KB yang dilaksanakan tidak bersifat memaksa, tetapi dilaksanakan dengan menanamkan nilai-nilai pada masyarakat tentang makna membangun keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Program KB tidak hanya sekedar anjuran dua anak cukup tetapi menghormati hak reproduksi seseorang. Hal ini diwujudkan melalui perencanaan keluarga, ingin punya anak berapa, jarak kehamilan anak pertama dan kedua serta pada usia berapa hingga berapa yang nantinya disesuaikan dengan kondisi kesehatan wanita dan kondisi perekonomian masing-masing keluarga. Hal yang menarik perhatian saya adalah tetangga yang baru-baru ini memiliki anak keempat. Mereka menambah satu momongan padahal mengaku tidak mampu membiayai anak pertamanya yang baru lulus SMP untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagaimana jika hal ini terjadi pada keluarga lainnya? Berapakah jumlah anak yang tidak dapat merasakan bangku pendidikan karena pola pikir orangtua mengenai jumlah anak ideal? Padahal sumberdaya manusia merupakan modal pembangunan. Banyak negara-negara yang memiliki SDA terbatas namun dengan SDM yang berkualitas mampu menjadi negara maju. Sebaliknya, banyak negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai SDA melimpah tetapi tidak diimbangi dengan SDM yang berkualitas sehingga belum mampu mengoptimalkan potensi alamnya. Program Keluarga Berencana yang saat ini mulai hilang gaungnya harus segera digencarkan lagi. Jangan sampai guyonan masyarakat yang seringkali meyebut mengenai singkatan KB yang harusnya Keluarga Berencana menjadi Keluarga Besar benar-benar terjadi. Kata koma yang terselip diguyonan masyarakat sehingga slogan “dua anak lebih baik” memiliki makna ambigu menjadi “dua anak lebih, baik” kembali menjadi dua anak cukup benar-benar tertanam dipola pikir masyarakat. Hal ini yang melatarbelakangi mengapa perlunya ditanamkan pentingnya perencanaan keluarga terkait kelahiran yang tepat. Apalagi saat ini pemerintahan baru dibawah kepemimpinan presiden terpilih, Joko Widodo mengusung kementerian kependudukan untuk mengatasi masalah kependudukan dimana BKKBN akan ada didalamnya. Mari kembali ke norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera. Semoga bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun