Mohon tunggu...
Erik D Wahyudi
Erik D Wahyudi Mohon Tunggu... Administrasi - .

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Regenerasi Anak Petani Memiliki Nilai Historis dan Psikologis

22 Mei 2019   21:50 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:50 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dekade terakhir pertanian di indonesia mengalami krisis regenerasi. Berkurangnya jumlah Petani dikarenakan berbagai banyak hal. Dari alih fungsi lahan sampai masalah regenerasi petani yang sekian lama semakin sedikit peminatnya. Data BPS juga menunjukkan hanya 12 persen dari total yang ada saat ini yang berusia dibawah 35 tahun. Sisanya merupakan petani tua berusia di atas 45 tahun. Data lain menunjukkan hanya tiga persen anak petani yang melanjutkan kiprah orang tuanya sebagai petani.

Pertanian secara garis besar dapat diartikan sebagai (a) proses produksi; (2) petani atau pengusaha; (3) tanah tempat usaha atau lahan pertanian; dan (4) usaha pertanian (Soetriono et al., 2006). Lahan pertanian merupakan faktor produksi yang memiliki fungsi strategis bagi masyarakat Indonesia.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Negara ini diuntungkan karena dikaruniai kondisi alam yang mendukung, hamparan lahan yang luas, keragaman hayati yang melimpah, serta beriklim tropis dimana sinar matahari terjadi sepanjang tahun sehingga bisa menanam sepanjang tahun.

Dalam sebuah gambaran kehidupan alamiah yang dimiliki bangsa Indonesia. Sebagaimana aspek alamiah tersebut terdiri dari geografi, demografi dan sumber kekeyaan alam. Untuk mengelola sember kekeyaan alam yang dimiliki. Maka dari itu. Regenerasi petani untuk masa mendatang perlu di siapkan sedini mungkin sebagai gambaran Sumber Daya Manusia (Demografi) di suatu wilayah negara (Geografi) yang mengelola Sumber Kekeyaan Alam (SKA) sektor pertanian.

Petani saat ini dihadapkan dengan sebuah meja pertaruhan yang akan mempertaruhkan kehidupannya di masa depan. Kebutuhan keluarga yang tidak hanya sebatas sandang, pangan, dan papan saja. Melainkan kebutuhan lainnya termasuk pendidikan anak-anak mereka menyebabkan para petani banyak yang menjual lahannya untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak-anak mereka.

Disamping itu. Rendahnya minat anak muda pada pertanian tidak hanya disebabkan karena penghasilannya rendah. Terbatasnya akses terhadap lahan, membuat anak muda memilih pekerjaan lain ketimbang menjadi petani.

Tanah-tanah pertanian di Jawa dimiliki oleh keluarga inti (batih). Rata-rata kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian oleh keluarga petani berkisar antara 0.2-0.3 ha dengan penghasilan rata-rata tiap bulan sekitar Rp 1,530,375.-, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan setiap bulan mencapai Rp 1,581,916. Sangat jelas hasil dari pertanian tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Untuk bertahan hidup keluarga petani mencari tambahan dengan bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan dan bermigrasi ke luar negeri sebagai pekerja informal (asisten rumah tangga, buruh perkebunan dll). http://api.or.id/realitas-pertanian-keluarga-di-indonesia/

Dengan demikian peluang untuk regenerasi petani sangat kecil sekali dampak dari kebutuhan petani dalam bertahan hidup. Anak-anak Petani yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi memerlukan biaya sehingga para petani tergiur menjual lahan pertaniannya agar dapat membiyayai pendidikan anak-anak mereka.

Permasalahan lain yang terjadi ialah tidak banyak anak-anak petani yang memilih bidang pertanian dalam melenjutkan pendidikannya. Anak-anak Petani lebih memilih pendidikan di luar bidang pertanian. Padahal jika anak Petani melanjutkan pendidikannya mengambil bidang pertanian merupakan kekuatan pertanian di Indonesia untuk mengembangkan regenerasi petani dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang saat ini dirasa masih kurang. Selain itu banyaknya lulusan sarjana pertanian yang memilih bekerja di luar sektor pertanian.  Fenomena  ini terjadi karena sektor pertanian tidak mendatangkan pendapatan yang memadai.

Petani merupakan ujung tombak program ketahanan pangan. Sudah semestinya Pemerintah memperhatikan Petani tidak hanya kerena target produksi pangan untuk kebutuhan nasional. Disisi lain petani membutuhkan kebutuhan hidup petani membiayai anak-anaknya bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Namun apa daya penghasilan petani tidak mencukupi kebutuhan.

Upaya regenerasi petani menurut penulis yang paling efektif agar pertanian di masa mendatang lebih maju ialah dengan mengembangkan sumber SDM pertanian dari anak-anak petani. Karena secara historis dan psikologis mereka memiliki pengalaman bagaimana hidup dalam mengelola lahan pertanian. Kita berharap adanya perhatian Pemerintah terhadap anak-anak petani agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dengan membuat program beasiswa khusus anak petani dengan prioritas bidang pertanian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun