Mohon tunggu...
Erik Susanto Bara
Erik Susanto Bara Mohon Tunggu... Insinyur - tulisan yang mengubah dunia

membaca, menulis dan bertindak nyata adalah langkah menuju perubahan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Tak kan Kembali

27 November 2019   16:05 Diperbarui: 28 November 2019   14:35 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari yang melelahkan ditengah teriknya matahari siang di kampus. Kuliah, praktikum menjadi kegiatan rutin yang membosankan. Bosan, bosan karena hanya menjalani rutinitas dan tanggung jawab tanpa tahu manfaatnya kelak. Akankah waktu, tenaga dan seluruh pengorbanan ini berguna bagi masa depan ku? Aku tak tahu. Yang ku tahu tak sedikit mahasiswa teknik seperti ku, memilih berkerja di Bank. Pekerjaan yang bertolak belakang dari disiplin ilmu yang telah dipelajari bertahun – tahun.

 Terkadang ditengah kelelahan dan rasa bosan yang tak kunjung pergi, terbesit penyesalan mengambil jurusan ini.

Ini semua berawal saat pendaftaran kuliah dahulu. Sama seperti kebanyakan remaja seusia ku, aku pun bimbang dan tak tahu harus memilih jurusan apa. Kurangnya arahan dan bimbingan dari kedua orang tua menjadi salah satu faktor penyebab. Ibu sibuk mengurus adik yang masih bayi dan ayah lebih sering berada diluar kota bekerja ketimbang di rumah. Ditengah kebimbangan itu akhirnya aku memutuskan mengambil jurusan Teknik Sipil. Aku mengambil jurusan ini karena Ayah. Karena Ayah merupakan dosen dan praktisi dalam bidang yang sama. Setidaknya dengan memilih jurusan ini, “aku masa depan” menjadi lebih mudah dalam berkarier. Disamping itu waktu bersama ayah yang hilang sejak aku kecil dapat terbayar, pikir ku.

Saat berhasil masuk di jurusan Teknik Sipil, aku merasa tidak ada yang berubah. Aku tetap tidak punya waktu bersama ayah. Mengerjakan gambar dan berbagai tugas besar hanya ditemani ratusan referensi buku yang ayah miliki sedari mahasiswa. Hanya ibu yang terkadang menemani ku saat adik sedang tertidur. Aku tahu, aku tak dapat menuntut ayah lebih. Sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tanggung jawab, ayah tidak biasa meninggalkan pekerjaannya walaupun ia bisa dengan mudah melimpahkan tugas ke bawahannya. Teladan yang ayah berikan berbicara lebih keras dari pada sekedar kata – kata. Impian ku kini sesederhana dapat meluangkan waktu bersama ayah sharing tentang kesipilan dan juga kehidupan.

Sebenarnya impian ini dapat menjadi kenyataan tanpa harus menunggu menjadi sarjana, yaitu melalui magang. Aku pernah bertanya, “Ayah, boleh kah aku magang di tempat ayah? atau hanya sekedar melihat – lihat pekerjaan pun tidak apa - apa”. Aku ingat ayah hanya menatap ku dan berkata, “kau sudah tahu apa? Kuliah saja yang benar dulu” Dipikiran ayah aku seperti tidak tahu apa – apa. Memang nilai ku lebih banyak C ketimbang A. Tapi itu tidak menjelaskan bahwa aku tidak tahu apa – apa. Bahkan jika aku tidak tahu apa – apa sekalipun bukankah lebih baik ayah mengajak ku ke proyek agar aku dapat tahu apa – apa? Tapi begitulah ayah. Tidak ingin jabatannya menjadikan anaknya menjadi anak yang gampangan.

Hari berganti hari ku tetap sibuk kuliah juga ayah dengan pekerjaannya. Hingga suatu hari ayah tidak masuk kerja. Berbeda dari biasanya, hari itu ayah menghabiskan waktunya seharian di rumah. Hari yang begitu indah, tidak terlupakan. Berjam – jam dihabiskan di ruang keluarga. Menonton tv juga ngobrol dari hal yang penting sampai ke hal yang receh.  Sambil ngobrol, aku memijat kaki ayah sembari adik menarik – narik rambut ayah dengan tertawa. 

Mungkin pikirnya menarik rambut adalah salah satu bentuk pijatan yang unik. Ayah terlihat rileks menikmati momen bersama kami. Momen yang sudah lama hilang karena kesibukan masing – masing. Saat telah merasa enakan ayah berkata, “sudah” tanda bagi ku dan adik untuk berhenti. Terdiam beberapa saat ayah kembali berbicara, “kapan kau mau ikut ayah ke proyek? Besok ayah mau ke lokasi, mau ikut?”. Hal yang mengejutkan bagiku. Akhirnya setelah sekian lama ayah pun mengajak ku ikut dengannya. Aku yakin ini akan menjadi langkah awal yang baik bagi ku untuk lebih banyak lagi memiliki waktu bersama ayah. Aku pun berkata dengan bahagianya, “iya ayah, aku mau ikut”

Saat malam menjelang aku naik ke kamar untuk segera beristirahat. Tak sabar rasanya menunggu hari esok. Saat sudah ditempat tidur, aku membuka buku agenda ku. Aku memang selalu mencatat kegiatan yang hendak ku lakukan supaya di akhir tahun aku dapat mengevaluasi diriku, apa saja yang telah aku capai di tahun ini dan apa yang akan menjadi resolusi ditahun berikutnya. Saat akan menulis momen ikut bersama ayah, aku melihat agenda ku untuk besok ternyata tidak kosong. Aku punya jadwal untuk rapat bersama panitia bakti sosial. 

Dalam bakti sosial ini aku menjadi koordinator dan besok merupakan final check sehingga aku harus hadir. Atau bagaimana jika aku mendelegasikan tugas ku ke wakil koordinator saja agar aku tidak perlu mengorbankan waktu bersama ayah, pikirku. Tapi setelah menimbang – nimbang beberapa saat, aku yakin menyelesaikan tugas dan tanggung jawab seperti yang ayah teladankan malah akan membuat ayah bangga. Anaknya tahu prioritas, tahu kalau kepentingan untuk orang banyak jauh lebih penting dibanding kepentingan pribadi. Terlebih lagi karena acara bakti sosial ini sudah dekat sedangkan momen bersama ayah ke proyek dapat di rencanakan ulang seusai kegiatan ini. Aku yakin ayah akan setuju dengan keputusan ku.

Ayah masih terjaga di depan laptopnya saat aku keluar dari kamar.

“Ayah kira sudah tidur” tatap ayah pada ku.

 “Iya tadi sudah mau tidur tapi tiba – tiba teringat kalau besok aku tidak bisa ikut. Ada rapat untuk bakti sosial hari minggu. Aku koordinator”

“Oh iya. Cocok itu, dahulu kan yang penting mendesak. Nanti atur ulang jadwal sama ayah”

“Iya ayah, maaf yah” aku pun kembali ke kamar untuk beristirahat.

Keesokan paginya, terbangun ku dengar suara mesin mobil ayah berbunyi. Terburu – buru ku menuruni tangga, jangan sampai ayah pergi sebelum aku bertemu, aku mau minta uang jajan.

“Ayah uang”, teriak ku saat ayah yang sudah di dalam mobil hendak berangkat menuju proyek.

“Uang apa lagi? Kau itu boros sekali. Ayah kan sudah kasih uang 2 hari lalu kenapa cepat sekali habis”

“Iya tapi aku pakai uang kemarin untuk beli alat praktikum di kampus”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun