Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Di Bulan Ramadan Sembako Mahal? Tak Masalah, Kan Puasa!

21 Maret 2024   14:59 Diperbarui: 21 Maret 2024   15:08 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbuka puasa | Pexels/Sami Abdullah via kumparan.com

"Sayuran aja mahal! Biasanya bayam seikat paling mahal enam ribu, ini jadi sepuluh ribu..." keluh istriku pagi ini sepulang belanja di lapak tukang sayur langganan.

Kami tidak ikut puasa, tapi kenaikan harga bahan-bahan pokok (sembako) berimbas pada urusan belangan setiap keluarga. Perkara kenaikan harga sembako menjadi topik hangat dalam dua bulan terakhir. Beberapa saat pasca-Pemilu 2024, harga beras tetiba meroket. Teringat program Capres 02 tentang makan siang gratis. Belum apa-apa, harga beras sudah menyesakkan rakyat.

Lalu memasuki bulan Ramadan, harga sembako berlomba-lomba merangkak naik. Ini fenomena tahunan, bukan sesuatu yang mengagetkan. Meski begitu, entah mengapa, keluhan di kalangan emak-emak tak terelakkan. Namanya juga emak-emak, harga lima ratus rupiah juga bisa jadi ajang debat dengan pedagang di pasar.

Kenaikan harga ini memberi lebih banyak kerugian baik untuk pembeli maupun pedagang. Bagi pembeli tentu saja, harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli sembako yang dikonsumsi setiap hari. Bagi pedagang, harga mahal membuat pembeli menjerit. Kalau barang tak segera terjual, khususnya bahan basah seperti sayuran, buah, ikan; bisa busuk. Kalau harga tak dinaikkan, rugi dong! Repot semua.

Kapan lalu, aku membaca artikel salah satu Kompasianer, seorang ibu. Ia menceritakan, di bulan Ramadan di mana orang-orang mengurangi intensitas mengonsumsi makanan dan minuman, tapi pengeluaran justru membengkak. Inilah fenomena paradoks. Rupanya yang diinginkan mata dan mulut melebihi kebutuhan pada hari-hari biasa. Hal ini juga dialami beberapa tetangga si ibu.

Harga murah tak menjamin hidup sehat, harga mahal tak langsung mati kelaparan

Kenaikan harga sembako yang menjadi fenomena tahunan harusnya membentuk alarm dalam diri, sehingga tidak syok atau banyak mengeluh. Meski yang namanya manusia, ya bakal mengeluh juga.

Kenaikan harga adalah fenomena ekonomi alamiah. Dinamikanya dipengaruhi oleh demand (permintaan) and supply (stok). Sebagai pembeli, mustahil kita menentukan harga. Tapi kita bisa menentukan jumlah makanan yang dikonsumsi (mengatur mulut dan perut).

Kalau harga sembako sedang murah, apakah kita mau membeli bahan makanan sehat dan bergizi? Belum tentu. Sebaliknya, saat harga mahal, apakah kita langsung bisa membeli barang secukupnya? Tidak juga. Pengalaman Kompasianer tadi contohnya. Harga barang mahal juga tak membuat kita mati kelaparan selama ada uang dan barang yang bisa dibeli. 

Membeli dan mengonsumsi secukupnya

Sebelum trending kenaikan harga sembako, istriku (penjual buah) beberapa kali sudah mengeluhkan beberapa harga buah dan sayur yang naik. "Kemarin harganya masih Rp10.000, masa sekarang udah Rp20.000..." keluhnya. Dengan receh, aku pun menanggapi, "Emangnya kalau lagi murah, mama mau memborong sepuluh kilo?" Tak ada balasan.

Aku pun teringat sikap bijak ibuku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun