Dahulu, meja makan memiliki peran yang lebih dari sekadar tempat untuk mengisi perut. Ia bisa menjadi ruang interaksi yang hangat, tempat obrolan santai mengalir antar anggota keluarga. Tak selalu obrolan penting, terkadang obrolan random tentang Film, tentang hewan peliharaan atau obrolan apapun yang sebenarnya tidak terlalu penting, kerap menjadi obrolan 'mengasyikan' saat duduk Bersama keluarga di meja makan.
Tapi kini, semua perlahan berubah, obrolan di meja makan, menjadi sesuatu yang jarang terjadi ketika teknologi mulai masuk ke ranah privat bernama rumah keluarga, kita menyambutnya dengan perasaan bahagia. Ponsel pintar menjanjikan konektivitas tanpa batas, informasi instan, dan hiburan tanpa henti. Namun tanpa disadari, ia juga membawa konsekuensi: tergesernya ruang-ruang intim, yang perlahan mulai menghancurkan komunikasi antar keluarga, membuat renggang suatu hubungan, dan menciptakan dinding bernama 'Asing'. Ayah lebih dekat dengan scrolling Instagram, ibu lebih akrab dengan tontonan live tik tok, dan anak-anak lebih bersahabat dengan teman di Game online.
Fenomena ini tampak nyata. Meja makan yang dulu menjadi simbol kebersamaan, kini berubah menjadi ruang hening tanpa interaksi. Setiap anggota keluarga hadir secara fisik, tetapi perhatian mereka terpaku pada layar ponsel. Ada yang sibuk memotret makanan untuk diunggah, ada pula yang sekadar menggulir linimasa media sosial sambil mengunyah tanpa menikmati rasa makanan. Bahkan, interaksi verbal perlahan tergantikan oleh komentar digital yang tidak ditujukan untuk keluarga sendiri. Mulai muncul perasaan bahwa keluarga bukan lagi menjadi rumah yang nyaman untuk bercerita, ketika semua terasa menjadi asing, kaku dan sulit untuk membangun komunikasi.
Pertanyaannya: mengapa ini menjadi masalah?
Karena keluarga adalah inti dari pembentukan karakter dan kelekatan emosional seseorang. Obrolan-obrolan ringan di meja makan memiliki peran penting dalam membangun rasa percaya, kebersamaan, dan kehangatan. Baik itu orang tua atau anak, mereka dapat membangun bonding kedekatan yang baik karena adanya komunikasi dua arah yang terjalin. Jika interaksi ini hilang, relasi pun menjadi mekanis. Keluarga hanya saling terhubung saat ada hal penting, seperti kebutuhan akademik, keuangan, atau urusan domestik. Tidak ada lagi ruang untuk cerita yang justru sering menjadi jembatan emosi. Hubungan terasa kaku. Jangan sampai kita hidup di rumah yang sama, namun tak benar-benar saling mengenal.
Belum ada kata Terlambat Untuk Merubah Keadaan
Namun hal ini membutuhkan kesadaran kolektif, bukan hanya dari anak, tetapi juga dari orang tua. Perlu ada kesepakatan yang disepakati bersama, seperti komitmen untuk tidak menggunakan ponsel saat makan malam. Atau menciptakan tradisi harian, di mana setiap orang mendapat giliran berbicara tentang hal menarik yang dialaminya hari itu. Hal-hal kecil, tapi berdampak besar.
Teknologi bukan musuh. Ia adalah alat. Namun jika penggunaannya tidak disertai kontrol, ia dapat mengikis nilai-nilai relasional dalam keluarga. Kita tidak perlu menolak kemajuan, tetapi kita perlu menetapkan batas.
Meja makan adalah simbol sederhana, tapi kuat. Ketika kita berhasil mengembalikan fungsinya sebagai ruang komunikasi, itu pertanda bahwa kita telah mengambil satu langkah penting dalam memulihkan kembali kehangatan keluarga.
Karena sesungguhnya, bonding antar keluarga tidak dibangun dari jumlah "like" di media sosial, melainkan dari perhatian tulus yang diberikan di dunia nyata. Dan tak ada tempat yang lebih tepat untuk memulai obrolan ringan selain di meja makan, tempat yang seharusnya menjadi ruang paling hangat di rumah bersama semangkuk sop hangat buatan ibu.