Sore itu, Budi duduk di sudut rumahnya yang bocor. Ia menatap adiknya yang berebut sisa bubur cair yang dibuat ibu hari itu. Mereka semua masih kelaparan, karena sisa uang ayah disisihkan untuk membeli buku tulis. Budi pun termenung, hatinya sangat pedih, tapi inilah kenyataan. Kenyataan pahit yang harus selalu diterima oleh mereka yang hidup diantara ketidakberdayaan. Kenyataan bahwa keadilan jarang berpihak pada mereka yang lemah.Â
Dan akhirnya, Budi memilih menyerah. Bukan karena ia bodoh. Tapi karena sistem membuatnya kalah sebelum bertanding. Budi memilih kembali memungut sampah bersama Ayahnya. Dunia berkata sekolah itu gratis. Tapi untuk anak seperti Budi dengan kemiskinan ekstrim, pendidikan adalah kemewahan yang dijual dengan harga terlalu mahal. "Terlalu mahal bagi mereka yang bahkan belum hidup layak sebagai manusia."
Kisah itu mungkin terdengar hanya seperti sebuah fiksi, tapi kisah tersebut bukan sekadar fiksi, kisah itu benar terjadi di sekitar kita bahwa benar ada banyak Budi yang kehilangan mimpi untuk menempuh pendidikan, karena hidup diambang kemiskinan yang ekstrim. Kondisi dimana uang sepuluh ribu rupiah pun, sulit ditemukan.Â
Uang sepuluh ribu rupiah yang kita anggap tak seberapa, yang terkadang kita belikan minuman dipinggir jalan, ternyata uang itu bisa menjadi harta yang berharga bagi sebuah keluarga dengan kemiskinan yang ekstrim.Â
Tidak sesederhana itu sekolah Gratis nyatanya sekolah yang katanya Gratis masih menghimpun dana-dana yang dikatakan sukarela, tapi tetap harus ada. Mau tidak mau kata Gratis itu tetap bersyarat. Dan bagi warga yang benar-benar merasakan sulitnya bertahan dari kemiskinan, mimpi pendidikan adalah harga termahal yang sulit diwujudkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI