Budi namanya. Usianya baru tujuh tahun, tapi matanya menyimpan rindu yang dalam: rindu duduk di bangku sekolah seperti anak-anak lain yang berseragam rapi dan membawa kotak pensil warna-warni.Â
Budi bukan anak siapa-siapa, hanya anak ketiga dari lima bersaudara, yang lahir dan tumbuh dalam gubuk sempit di bantaran sungai, rumah yang lebih pantas disebut sarang untuk bertahan hidup, daripada tempat tinggal.
Empat meter kali enam meter. Itu luas rumahnya. Atau lebih tepatnya, kandang delapan jiwa: Budi, ayah, ibu, dan lima bersaudara yang lain. Ruangan pengap dan kotor, di mana satu-satunya jendela adalah celah di antara seng karatan dan tumpukan kardus bekas. Tapi Budi tetap punya cita-cita. Katanya, katanya... pendidikan itu jalan untuk keluar dari kemiskinan. Maka Budi pun berani bermimpi untuk bisa menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.
"Sekolah negeri itu gratis, Pak" ujar salah seorang Guru, seraya membujuk Ayah Budi. Kalimat itu terdengar seperti motivasi suci yang menyemangati para pemimpi.
Ayah Budi pun langsung setuju, ia mendaftarkan Budi bersekolah di sekolah negeri. Karena Ayah tau semangat Budi sangat tinggi. Budi punya mimpi: ingin jadi orang pintar, ingin menolong ibu, ingin membebaskan kakak-kakaknya dari pekerjaan memilah sampah dan mengendus bau got saban hari. Ia tak ingin seperti dua kakaknya yang sudah lebih dulu menyerah, ikut bapak menarik karung dan menawar sampah di tempat pengepul dengan wajah yang hilang harapan.
Minggu depan, katanya Budi akan mulai sekolah. Sekolah negeri. Yang katanya, "Gratis."
Tapi tunggu sebentar....
Baru satu langkah hendak masuk sekolah, realitas datang menggiring Budi ke dalam kenyataannya yang pahit: seragam harus beli. Sepatu? Wajib punya. Buku tulis? Minimal lima. Pensil, penghapus, penggaris, rautan, lem, map plastik, uang foto, uang bangku, uang kebersihan, dan ya, uang kas sukarela yang entah mengapa selalu terasa seperti tagihan wajib setiap bulan. Lalu kata Gratisnya? Ternyata gratis itu masih ada syarat dan ketentuannya, seperti kita dapat harga promo di Supermarket.
Harga satu buku tulis sepuluh ribu rupiah. Itu angka yang besar bagi keluarga Budi, angka yang sama dengan hasil keringat ayahnya satu hari penuh menarik gerobak sampah di bawah terik matahari. Untuk membeli satu set alat tulis, Budi harus memilih: belajar atau melihat adik bungsunya kelaparan hari itu.
Di kelas, mungkin akan ada pelajaran tentang keadilan sosial dan pemerataan. Tapi Budi sudah tahu, tanpa perlu duduk di bangku sekolah, bahwa keadilan itu sering kali hanya slogan di spanduk jalanan, bukan sepiring nasi yang tiba-tiba ada di piring makan.
Sore itu, Budi duduk di sudut rumahnya yang bocor. Ia menatap adiknya yang berebut sisa bubur cair yang dibuat ibu hari itu. Mereka semua masih kelaparan, karena sisa uang ayah disisihkan untuk membeli buku tulis. Budi pun termenung, hatinya sangat pedih, tapi inilah kenyataan. Kenyataan pahit yang harus selalu diterima oleh mereka yang hidup diantara ketidakberdayaan. Kenyataan bahwa keadilan jarang berpihak pada mereka yang lemah.Â
Dan akhirnya, Budi memilih menyerah. Bukan karena ia bodoh. Tapi karena sistem membuatnya kalah sebelum bertanding. Budi memilih kembali memungut sampah bersama Ayahnya. Dunia berkata sekolah itu gratis. Tapi untuk anak seperti Budi dengan kemiskinan ekstrim, pendidikan adalah kemewahan yang dijual dengan harga terlalu mahal. "Terlalu mahal bagi mereka yang bahkan belum hidup layak sebagai manusia."
Kisah itu mungkin terdengar hanya seperti sebuah fiksi, tapi kisah tersebut bukan sekadar fiksi, kisah itu benar terjadi di sekitar kita bahwa benar ada banyak Budi yang kehilangan mimpi untuk menempuh pendidikan, karena hidup diambang kemiskinan yang ekstrim. Kondisi dimana uang sepuluh ribu rupiah pun, sulit ditemukan.Â
Uang sepuluh ribu rupiah yang kita anggap tak seberapa, yang terkadang kita belikan minuman dipinggir jalan, ternyata uang itu bisa menjadi harta yang berharga bagi sebuah keluarga dengan kemiskinan yang ekstrim.Â
Tidak sesederhana itu sekolah Gratis nyatanya sekolah yang katanya Gratis masih menghimpun dana-dana yang dikatakan sukarela, tapi tetap harus ada. Mau tidak mau kata Gratis itu tetap bersyarat. Dan bagi warga yang benar-benar merasakan sulitnya bertahan dari kemiskinan, mimpi pendidikan adalah harga termahal yang sulit diwujudkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI