Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Penulis, Kreator dan Pengajar

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Berbagai Genre, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel, Pemenang Sayembara Puisi Esai Tingkat Asean 2025 dan Kreator Video AI Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Jadi Sarjana Pengangguran: Aman kah?

21 Mei 2025   09:25 Diperbarui: 21 Mei 2025   09:25 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bingimage.com Ai

Dulu, jadi sarjana adalah puncak mimpi. Lambang kejayaan. Seolah dengan ijazah di tangan, hidup akan otomatis berubah menjadi lebih indah. Tapi kenyataan, seperti biasa, lebih tajam dari belati.

Menjadi sarjana itu perjuangan berdarah-darah. Bayangkan, menyusun skripsi ratusan halaman, tanpa bantuan GPT atau teman-temannya yang pintar berbahasa mesin. Dulu itu, menulis skripsi bukan tinggal ketik prompt dan copy-paste. Kita beneran ngetik manual. Coretan dosen pembimbing seperti goresan takdir yang harus kita patuhi dengan air mata. Revisi berkali-kali, dari teori ke metodologi, lalu balik lagi karena "kurang tajam" atau "coba cari referensi lebih mutakhir" padahal jurnal terakhir yang kita temukan sudah kita baca sampai mengigau.

Belum lagi tekanan finansial. Kuliah dibayari dengan utang, tabungan keluarga, bahkan jual motor kesayangan. Tugas menumpuk, jam tidur tinggal mitos. Tapi akhirnya, wisuda! Mahkota toga dikenakan, kamera disorot, dan kita bangga. Satu keluarga bangga. Tetangga bangga. Bahkan mantan yang dulu ninggalin kita karena "kamu sibuk skripsi" ikut kirim ucapan selamat.

Tapi setelah pesta kelulusan selesai dan bunga plastik di tangan sudah layu, kehidupan nyata menyambut kita. Dan, oh, betapa "menyenangkan" dunia kerja itu.

Kita tiba di era lowongan kerja absurd. Dicari: fresh graduate berpengalaman lima tahun. Gaji UMR, tapi syaratnya setara dewa. Maksimal umur 30 tahun, single, menarik. Apa ini lowongan kerja atau audisi jadi menantu idaman? Lalu siapa yang bisa menjamin ketertarikan visual seseorang bisa ditakar dengan standar perusahaan? Haruskah kita konsultasi ke Tuhan agar saat lahir diberi wajah menarik agar mudah mendapat kerja di Indonesia? 

Belum lagi syarat sebanyak itu dibarengi dengan tawaran gaji yang... maaf, bahkan tidak menyentuh angka tiga juta. Iya, tiga juta. Itu pun kotor. Ditransfer per bulan, tapi habis per minggu. Coba tanya: kapan kita bisa menuju gaji 15 juta supaya hidup lebih sehat dan otak lebih pintar? 

Atau memang dari awal sistem dirancang agar kita cukup makan mie instan sambil menunggu waktu kena radang usus kronis, terus mengurangi angka kepadatan penduduk?

Semua aturan dalam sistem itu, akhirnya, membuat sarjana tersangkut dalam sistem pengangguran massal. Dihimpit antara ekspektasi lapangan kerja makin sempit dan syarat yang makin mempersulit.

Sarjana-sarjana ini tidak bodoh, hanya terjebak sistem yang tak logis. Dulu mereka rajin kuliah, baca jurnal, nulis skripsi pakai airmata berdarah-darah. Tapi sekarang, mereka harus buka YouTube "Cara cepat dapat kerja" sambil ngelamar kerja via 50 aplikasi berbeda, berharap satu saja yang membalas. Tapi nyatanya Tidak! Balasan yang muncul malah berbalik iklan tawaran berbagai pelatihan yang katanya menambah sertifikasi, tapi ujungnya tetap cari peluang kerja sendiri. 

Balik lagi ke pertanyaan gimana rasanya jadi sarjana pengangguran? Aman!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun