Sebuah refleksi parenting tentang "Anak Selalu Salah Dan Orangtua Selalu Benar"
Dalam pola parenting tradisional, ada satu keyakinan yang seringkali tak terucapkan namun begitu kuat mengakar: anak selalu salah dan orangtua selalu benar. Pola pikir ini telah diwariskan turun-temurun, tertanam dalam budaya kita seolah menjadi bagian dari kode etik yang tidak tertulis. Setiap kesalahan anak dianggap sebagai cerminan dari perilaku si anak itu sendiri, atau lingkungan seakan menjadi sasaran empuk yang bisa disalahkan dalam pembentukkan karakter anak yang buruk. Jarang sekali kita mendengar orangtua yang berhenti sejenak untuk bertanya pada diri sendiri, "Apakah kesalahan yang diperbuat anakku, merupakan kesalahan dari pola pengasuhanku? atau sudahkah aku menjadi orangtua yang baik di mata anakku?"
Padahal, tidak ada orangtua yang sempurna. Setiap orangtua, tak peduli seberapa besar pengalaman mereka, bisa melakukan kesalahan. Kesalahan itu, meski tampak kecil di mata orang dewasa, bisa meninggalkan jejak yang dalam di hati seorang anak. Luka yang mungkin tak terlihat di permukaan, namun terus terpatri hingga ia dewasa, membentuk cara pandangnya terhadap diri sendiri dan dunia di sekitarnya.
Sering kali, orangtua lupa untuk melakukan refleksi diri. Mereka terjebak dalam rutinitas, menegakkan disiplin tanpa mempertanyakan apakah metode yang digunakan benar-benar efektif atau justru merusak. Misalnya, ketika anak berperilaku "nakal," respons otomatis yang muncul adalah memarahi atau menghukum, tanpa mencoba memahami akar masalahnya.
Apakah anak tersebut sedang merasa tidak diperhatikan? Apakah ia sedang berjuang mengekspresikan emosi yang tidak dipahaminya sendiri? Atau mungkinkah perilaku itu adalah cermin dari ketidaknyamanan yang dia rasakan di rumah? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul dalam benak orangtua yang meyakini bahwa kesalahan selalu ada di pihak anak.
Anak Bukan Alat, Mereka Adalah Manusia Yang Punya Rasa
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa anak bukanlah alat untuk memenuhi ambisi atau ekspektasi orangtua. Mereka adalah individu dengan perasaan, pikiran, dan kebutuhan mereka sendiri. Mengasuh anak bukan tentang mengontrol setiap aspek hidup mereka seperti mengatur mesin. Ini adalah tentang mendampingi mereka tumbuh, memahami dunia, dan menemukan jati diri mereka.
Seringkali, orangtua merasa berhak atas setiap keputusan yang diambil untuk anak mereka, dengan alasan "ini demi kebaikanmu." Padahal, tanpa disadari, pendekatan ini bisa mengabaikan kebutuhan emosional anak, membuat mereka merasa tidak didengar, bahkan tidak dihargai. Hal ini bisa menciptakan jarak emosional yang sulit dijembatani di kemudian hari.
Salah satu langkah penting dalam membangun hubungan yang sehat dengan anak adalah keberanian untuk meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Ya, orangtua pun harus belajar meminta maaf. Ini bukan tentang merendahkan wibawa sebagai orangtua, melainkan menunjukkan bahwa kita juga manusia yang bisa salah.
Dengan meminta maaf, kita mengajarkan kepada anak bahwa mengakui kesalahan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kedewasaan. Anak-anak akan belajar bahwa tidak ada yang sempurna, dan bahwa hubungan yang sehat dibangun di atas kejujuran, saling menghormati, dan kasih sayang. Mengasuh anak bukan tentang memenangkan argumen atau mempertahankan otoritas tanpa ruang diskusi. Ini adalah tentang menciptakan lingkungan di mana anak merasa aman untuk menjadi diri sendiri, di mana mereka tahu bahwa suara mereka didengar, dan perasaan mereka dihargai.