Mohon tunggu...
Erica AuliaWidiani
Erica AuliaWidiani Mohon Tunggu... Writer - Content Creator - Businesswoman

Nama Lengkap : Erica Aulia Widiani | Seorang mahasiswa, menyukai tulis menulis dan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Brain Rot, Bahaya Tersembunyi dari Hiburan Tanpa Henti

4 Juni 2025   12:20 Diperbarui: 4 Juni 2025   12:40 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Front view business woman stressed (Sumber: Freepik)

Di era digital saat ini, hiburan hadir dalam bentuk yang tak terbatas. Dari scrolling Tiktok selama berjam-jam, menonton series secara maraton, hingga menghabiskan waktu bermain game tanpa henti. Aktivitas ini seolah menjadi pelarian dari sttres dan tekanan hidup. Namun, di balik kenyamanan dan kesenangan yang diberikan, muncul satu istilah baru yang mulai ramai diperbincangkan: brain rot. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana otak menjadi "lelah" atau tumpul akibat konsumsi hiburan berlebihan yang bersifat pasif dan instan.

Apa Itu Brain Rot?

Secara harfiah, brain rot berarti "pembusukan otak". Meski terdengar ekstrem, istialah ini digunakan secara metaforis untuk menggambarkan penurunan fungsi kognitif kibat konsumsi konten yang tidak menstimulasi otak secara aktif. Konten yang dikonsumsi secara berlebihan, seperti video pendek tanpa akhir, meme tanpa konteks, atau acara TV yang ditonton tanpa jeda, dapat membuat otak terbiasa pada kepuasan instan. Akibatnya, kemampuan untuk fokus, berpikir kritis, dan menyelesaikan tugas kompleks menjadi menurun.

Dalam konteks psikologi kognitif, brain rot dapat dijelaskan sebagai penurunan kemampuan otak untuk memproses informasi kompleks akibat overstimulasi dari konten digital. Kondisi ini terjadi ketika sistem reward otak terus-menerus dipicu oleh stimulasi ringa namun berulang, menyebabkan penurunan sensivitas terhadap aktivitas yang membutuhkan usaha mental lebih besar.

Berbeda dengan ADHD atau gangguan perhatian klinis lainnya, brain rot adalah kondisi yang berkembang secara bertahap akibat kebiasaan konsumsi media digital. gejalanya dapat diatasi dengan mengubah pola konsumsi hiburan, sementara gangguan perhatian klinis memerlukan penanganan medis yang kebih komprehensif.

Mengapa Kita Terjebak dalam Pola Ini?

Algoritma media sosial dirancang untuk menjaga perhatian kita selama mungkin. Setiap kali Kamu menyukai, menonton, atau berbagi sesuatu, sistem akan menyajikan konten serupa yang membuatmu tetap terpaku. Rasa bosan yang seharusnya menjadai isyarat bagi otak untuk bersitirahat atau mencari kegiatan bermakan justru ditutupi oleh hiburan tanpa henti. Lama-kelamaan, Kamu mungkin merasa tidak nyaman saat tidak ada stimulasi visual atau audio yang mendistraksi.

Platform seperti Tiktok, Isntagram, dan Youtube menggunakan machine learning untuk menganalisis perilaku pengguna dan menyajikan konten yang paling mungkin membuat mereka tetap terlibat. Algoritma ini memanfaatkan variable ratio reinforcement schedule, teknik yang sama digunakan dalam mesin slot, untuk mencipatakan kecanduan digital yang sulit dihentikan.

Setiap kali kita menemukan konten yang menarik, otak melepaskan dopamin yang memberikan rasa senang sesaat. Pola ini menciptakan siklus di mana otak terus mencari stimulasi baru untuk mendapatkan "hit" dopamine berikutnya, membuat kita sulit berhenti scrolling meski sudah merasa jenuh.

Fenomena FOMO dan Social Comparison

Fear of Missing Out (FOMO) dan kecenderunga membandingkan diri dengan orang lain di media sosial turut memperparah kondisi brain rot. Ketakutan tertinggal informasi atau tren terbaru ,mendorong konsumsi konten yang kompulsif dan tidak terkendali. Kebiasaan ini dapat mengganggu regulasi emosi, menurunkan produktivitas, dan bahkan memicu gejala gangguan mental seperti kecemasan dan depresi. Ketika otak terbiasa pada hal-hal yang serba cepat dan instan, aktivitas seperti membaca buku, menyusun ide, atau sekedar duduk diam bisa terasa membosankan. Ini dapat mengganggu kemampuan otak dalam membangun narasi panjang, mengatur prioritas, dan mengelola stres dengan sehat. Brain rot dapat mengubah cara kerja sistem reward otak , membuat aktivitas yang seharusnya menyenangkan seperto hobi atau interaksi sosial terasa kurang memuaskan. Kondisi ini mirip dengan yang dialami penderita kecanduan, di mana stimulasi alami tidak lagi memberikan kepuasan yang memadai.

Paparan konten digital yang berlebihan dapat menyebabkan attention residue, yaitu kondisi di mana sebagian perhatian kita masih "menempel" pada stimulus sebelumnya. Hal ini membuat kita sulit fokus penuh pada satu tugas dan menurunkan kualitas pekerjaan atau aktivitas yang sedang dilakukan.

Ciri-Ciri Kamu Mengalami Brain Rot

1. Kesulitan Fokus pada Tugas Kompleks: Merasa sulit fokus meskipun sedang tidak lelah menjadi tanda utama brain rot. Otak yang terbiasa dengan stimulus cepat akan kesulitan mempertahankan perhatian pada aktivitas yang membutuhkan konsentrasi berkelanjutan, seperti membaca buku atau menyelesaikan project jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun