Mohon tunggu...
Erbina Barus
Erbina Barus Mohon Tunggu...

Berbagi melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pencarian Jati Diri Melalui Pendakian Gunung

17 Agustus 2013   01:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:13 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13766759591258880974

[caption id="attachment_272701" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama teman - teman MPS"][/caption] Salah satu masa paling bahagia kurasakan ketika menjalani masa di Yogyakarta – Jawa Tengah. 4 tahun tinggal dikota pelajar ini dan aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa memberiku kesempatan untuk mengenal kota pelajar ini dan setiap seluk beluknya.

Menjadi anggota mapala disini memberiku kesempatan untuk lebih dekat dengan alam melalui beberapa kegiatan seperti pendakian gunung, panjat tebing, arung jeram dan menjelajahi gua yang gelap dan misterius. Dan kebetulan yang paling banyak kulakukan dari berbagai kegiatan ini adalah pendakian gunung – gunung di beberapa kota di Indonesia.

Pendapatku mengenai pendakian gunung

Sejauh ini aku selalu merasa nyaman ketika mendaki gunung baik itu dekat ataupun jauh dari tempatku tinggal, mendaki gunung yang sama walaupun berkali – kali pasti tetap memberi pengalaman dan cerita yangberbeda. Setiap pendakian kuanggap sebagai satu proses untuk mengenal diriku.

Dalam hidup, adalah hal yang alami jika aku menginginkan banyak hal, banyak rencana dan cita – cita yang ingin kucapai, namun dalam prosesnya seringkali kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Begitupun dengan mendaki gunung, dari jauh aku bisa melihat pemandangan luar biasa yang memberiku semangat untuk datang melihatnya langsung didepan mata, namun terkadang keindahan itu terlihat begitu berbeda ketika aku berada didekatnya. Terkadang aku merasa begitu sulit menjalaninya dan sesekali aku bahkan tidak bisa mendaki sampai kepuncaknya.

Perubahan mindset mengenai puncak gunung

Aku sudah mulai mengenal kegiatan mendaki gunung sejak mengikuti pramuka di SMU di Tg. Morawa - Medan dan menjadi semakin sering mendaki setelah aktif di Mapala di Yogyakarta. Awalnya aku dan teman – teman suka mengatakan bahwa mendaki harus sampai dipuncak, mari kita taklukkan puncak, makin banyak puncak yang kita daki makin hebat dan banyak kesombongan lainnya ala pendaki pemula tentunya hehehe…

Beberapa tahun setelahnya aku mulai merasakan berbeda, bahkan saat inipun ketika aku sedang menuliskan ini ada rasa haru dalam hati. Aku sadar gunung telah mengajarkan banyak hal padaku. Dari tiap langkah yang kujalani, memanggul backpack yang berat dipunggung sambil menatap ujung sepatu yang mulai basah karena embun, terkadang beban menjadi semakin berat karena hujan mengharuskanku berjalan berselimutkan jas hujan dan berharap air tidak merembes kedalam backpack agar tidak semakin menambah beart bebanku, juga bertahan dari bau keringatku dan teman – teman hahaha…..

Hmm ya yang menyenangkan adalah ketika dalam dinginnya udara aku dapat melihat uap yang keluar tiap kali aku berbicara, memandang kabut tebal yang menutup pemandangan dan memberi kesan misterius yang dalam, mendengar suara alam dengan irama yang penuh harmoni. Well bagaimanapun aku bukan seorang pujangga, namun kata – kata ini rasanya sangat tepat untuk mewakili perasaanku mengenai ini.

Pendakian gunung dan proses pembentukan jati diri

Kembali mengenai proses pencarian jati diri, akhirnya aku dapat mengatakan bahwa mendaki gunung tidak selalu mengenai puncak yang harus diraih. Memang benar ketika berada dipuncak aku dapat melihat pemandangan yang lebih indah, pandangan menjadi lebih luas karena berada ditempat paling tinggi dan juga menyaksikan pendaki lainnya berjuang untuk dapat sampai dipuncak sepertiku akan memberi rasa bangga tersendiri, terlebih ketika melihat mereka yang sedang bersusah payah mengumpulkan tenaga dan semangat untuk dapat segera tiba.

Pengalaman berharga menuju Puncak Mahameru

Suatu kali dalam pendakian yang kulakukan di Gunung Semeru, dijalur berpasir menuju puncak Mahameru tiap langkahku terasa begitu berat karena dari satu pijakan yang kujejakkan maka langkahku akan surut dua langkah kebelakang. Batas waktu yang ditentukan yaitu jam 8 pagi harus berada dipuncak atau tidak sama sekali karena diperkirakan akan ada gas beracun. Hal ini memberi beban tersendiri buatku yang datang jauh – jauh dari Jawa Tengah hingga sampai ditempat yang terasa begitu jauh dari peradaban ini.

Ketika hampir putus asa, seorang teman senior memberikan pahanya untuk kupakai sebagai pijakan, sampai saat ini masih kuingat ketika dia bilang bahwa aku harus sampai kepuncak, berdoa dan mengucap syukur dan harus mensupport teman – teman yang masih berada dibawah. Mereka akan terpacu semangatnya ketika melihatmu dipuncak.

Hebat bukan…?!!! Satu pijakan itu menjadi stimulus yang sangat luar biasa untuk mendongkrak tenagaku yang telah terkuras selama beberapa hari perjalanan sampai ditahap ini. Sambil mengucap terimakasih aku terus merayap mengejar seorang teman yang telah beberapa meter didepanku. Puncak sudah dekat.

Dinamika pendakian menuju puncak Mahameru

Aku sadar sepenuhnya, kerjasama team, support dari senior, stamina, kesehatan mental dan spiritual telah membawaku sampai dipuncak Mahameru. Menyaksikan alam yang spektakuler, sesekali berteriak memanggil teman – teman yang masih dibawah, berharap mereka mendengarnya dan semakin terpacu untuk segera sampai dipuncak yang sama, berdoa sambil bergandengan tangan mengucap syukur dan tetap waspada akan kemungkinan perubahan alam yang terus menerus menjadi peringatan disepanjang perjalanan.

Walau akhirnya hanya beberapa dari kami yang sampai dipuncak dan terpaksa lari meninggalkan puncak karena gas beracun disertai angin puting beliung datang lebih awal 30 menit dari waktu yang diperkirakan. Menyaksikan seorang teman yang berlari hilang arah karena panik dan tersadar mendengar teriakanku yang mengatakan bahwa ia menuju kejurang dan bukan kejalur pendakian, namun dia terjatuh dan sambil menyeretnya kamiberlari menjauh dari puncak Mahameru.

Tuhan….aku merasa begitu kecil, aku dapat melihat kekacauan yang kami rasakan saat itu, sedih melihat teman – teman lainnya yang tidak sempat melihat keagungan puncak Mahameru, kami semua berlari turun, turun dan terus turun sambil berteriak keteman – teman pendaki lainnya yang telah berada dibatas menuju puncak Mahameru, kami terus berlarian sampai diperbatasan hutan dan jalur pasir.

Akhirnya kami aman, kami bergandengan tangan, berdoa penuh haru, dan sadar setelahnya wajah kami semua dipenuhi debu dan beberapa teman meninggalkan garis airmata diwajah putih berdebu itu. Pria, wanita, senior maupun junior semua sama, kami semua mengucap penuh haru karena tidak ada yang terluka dan tidak ada yang tidak menangis. Amin.

Pelajaran apa yang kudapat setelah semua proses itu?

Ya itu salah satu proses yang aku alami, kenangan tidak terlupakan bahkan sampai saat ini ketika pendakian itu kulakukan lebih dari 10 tahun yang lalu. Aku masih dipenuhi rasa haru, masih ingat dengan jelas saat itu aku dan temanku begitu terpana melihat sebuah plastik tiba – tiba terbang dan berputar – putar tinggi dan semakin tinggi vertikal didepanku dan sadar ketika suara angin yang kudengar menjadi begitu berbeda karena kali ini lebih seperti suara desingan yang melengking tajam dan berbeda dengan suara letupan – letupan dari kawah yang diyakini tidak mengundang bahaya. Kami tersadar alam telah berubah dan menjadi lebih berbahaya karena seorang teman tiba – tiba jatuh tersungkur dan mengatakan bahwa bau gas membuatnya pusing dan kami harus segera berlari menjauh dari puncak.

Seberapa penting berada dipuncak buatku?

Ya semua itu begitu berarti, kapanpun, dimanapun, dalam situasi apapun aku harus tetap waspada. Lalu seberapa pentingnya mencapai puncak dalam tiap pendakian gunung yang kulakukan setelahnya. Tentu saja mencapai puncak adalah satu hal yang sangat penting karena aku menyadari sepenuhnya ada banyak hal baru yang akan kudapat ketika berada dipuncak, ada banyak hal yang hanya dapat dinikmati ketika kita berada dipuncak, ada kesenangan tersendiri dan menjadi satu penghargaan atas setiap usaha yang kutanamkan untuk dapat menapak dipuncak.

Namun puncak adalah puncak, luasnya yang hanya beberapa meter dari ribuan meter keseluruhan gunung juga memberi ancaman tersendiri, yang dapat kulakukan adalah mensyukuri tiap langkah kakiku yang berhasil kutapakkan karena alam telah begitu bermurah hati bagiku, yang ingin kulakukan adalah menikmati tiap perubahan alam baik itu pemandangannya, cuacanya, suaranya maupun medannya. Dan yang dapat kulakukan terus menyesuaikan diriku dengan setiap perubahan itu, mengukur kemampuanku dan tetap menjaga kesadaranku dalam segala situasi yang ada.

Aku selalu merasa proses yang harus kulalui untuk dapat mencapai puncak akan selalu sama dengan proses hidup yang kuhadapi. Dalam hidup akan selalu ada hambatan dalam mewujudkan rencana yang telah disusun. Terkadang aku mampu memprediksi sumber hambatan itu, namun seringkali banyak hambatan muncul dari arah yang tidak mampu diperkirakan. Terus dan terus berada dalam situasi ini disepanjang hidup dan terus melatih kesadaranku untuk tetap menjadi manusia seutuhnya seperti yang kuyakini kelak akan membawaku menjadi pribadi yang lebih dewasa dan bijaksana. Amin.

Salam,

Erbina Barus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun