Mohon tunggu...
Rahmad Widada
Rahmad Widada Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, penyunting buku. Publikasi: 1. Saussure untuk Sastra (metode kritik sastra). 2. Gadis-gadis Amangkurat (novel) 3. Jangan Kautulis Obituari Cinta (novel). 4. Guru Patriot: Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa yang Dialami Bung Karno pada 57 Hari Jelang G30S?

23 September 2022   18:47 Diperbarui: 24 September 2022   05:57 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Apa yang dialami Bung Karno pada 57 hari jelang G30S? Jawaban garing untuk pertanyaan itu ialah "Bung Karno baik-baik saja!" Ia masih dipuja dan dijunjung tinggi. Terbukti saat itu ia menerima satu lagi gelar doktor honoris causa (Dr. H.C.) atau doktor kehormatan, di istana pula, bukan di kampus. Itu adalah gelar Dr. H.C.-nya yang ke-26. (Rasanya kok saya seperti sedang menyimak cerita seorang pemain bola atau petinju, ya!)

Saya menyimpulkan bahwa Bung Karno baik-baik saja setelah membaca buku tipis berjudul "Tauhid Adalah Djiwaku". Waktu pertama kali menemukan buku itu di antara koleksi buku-buku tua peninggalan bapak mertua, semula saya menduganya sebagai "buku biasa", buku berisi ajaran agama yang jumlahnya lumayan di antara koleksi buku-buku almarhum. Namun, setelah membuka  dan membaca halaman judulnya secara komplit, saya merasa buku itu cukup istimewa.

Ya, istimewa, karena "buku tipis setebal"---frasa macam apa ini?!---58 halaman itu ternyata berisi amanat Bung Karno pada penganugerahan "Gelar Doktor Honoris Causa dalam Falsafah Ilmu Tauhid" untuk dirinya dari Universitas Muhammadiyah Jakarta yang digelar di Istana Negara (bukan di kampus) pada 3 Agustus 1965.

Pokok masalah dalam amanat itu sendiri tidak begitu menarik. Maksud saya masalah itu terlalu berat untuk saya bicarakan, biar embahnya Dilan yang mengangkatnya. Jadi, saya hanya akan mencomoti dan membicarakan hal remeh temeh yang menarik. Kalau Saudara tidak tertarik, semoga tetap terdorong mendengarkannya.  

Yang menarik dari amanat itu ialah ucapan-ucapan santai Bung Karno di sela-sela pidatonya tentang tauhid. Ini mengingatkan saya pada kalimat senggakan dalam gendhing-gendhing (orkestrasi) tembang Jawa yang sering kali tidak nyambung dengan arti syair utamanya. 

Misalnya, "pipa landa, ngono we kok nesu!" untuk nyenggaki (menyela) sebuah tembang sinom yang berisi ajaran untuk meneladani keutamaan laku Panembahan Senopati. Kata-kata "pipa landa...." itu, misalnya, jelas tidak nyambung dengan kebiasaan lelaku tapabrata Panembahan Senopati, tetapi nadanya enak menyatu dalam harmoni gendhing.

Kira-kira semacam itulah "ulah" Bung Karno dalam menyampaikan pidato penerimaan gelarnya. Jadi, ceritanya begini. Dahulu sekali, saat dalam masa pembuangan di Bengkulu, Bung Karno pernah meminjam uang kepada seseorang yang bernama Oei Tjing Hin. 

Mengingat kebaikannya, orang itu pun ikut diundang dalam acara penganugerahan gelar tersebut. Dalam suatu kesempatan di sela pidato, Bung Karno menceritakan masalah utang itu lalu memberitahukan kepada hadirin bahwa Oei Tjing Hin, si orang baik tersebut, saat itu juga hadir sebagai tamu. Bung Karno lalu memperkenalkannya kepada hadirin. Begini kata Bung Karno:  

"Itu jang ketawa itu. Saudara Oei Tjing Hin, berdiri. Ee, sebelum saja meneruskan pidato saja ini, saja minta Saudara ichlaskan hutang saja kepada Saudara, 30 gulden. Ichlas, Saudara bebaskan saja daripada hutang 30 gulden? Ichlas?! ...  Sjukur, alhamdulillah, dan saja mengutjap banjak-banjak terima kasih, Saudara Oei Tjing telah mengichlaskan 30 gulden itu kepada saja." (Hal. 18)  

Namun, itu belum selesai. Bung Karno menambahkan bahwa ia juga pernah punya utang kepada pastur-pastur Katholik saat ia dibuang di Ende, Flores. Ia berutang untuk membiayai pementasan sandiwara-sandiwara karyanya di Gedung Societet Katholik di Ende. Salah satunya ialah utang kepada Pastur Huitnik sebesar 70 gulden. "Dan sjukur alhamdulillah pula, tatkala saja beberapa tahun jang lalu berdjumpa  dengan  Pater Huitnik, saja minta diichlaskan 70 gulden ini! Djadi sekarang saja tidak punja hutang."

Bung kita itu, sang pemimipin besar revolusi, tampaknya punya jurus andal dan solutif saat menghadapi masalah utang: ngemplang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun