Puisi : Edy Priyatna
Setelah kusebrangi bukit nan sedikit tandus. Kering kerontang karena tumbuhannya sirna. Menguap aku berlari menuju pantai biru. Safir diiringi hembusan angin sejuk hingga sepi. Ranah terdengar suara ombak deru kumandang. Lurah tanah air mengibarkan bendera ditiang.
Tajam analitis mengadu berbagai macam alasan. Latar belakang pada sebuah diskusi besar. Hebat pada catatan hidup nan belum bersih. Bening dari pada raut wajah bernoda biru. Tarum disiksa atau tersiksa aku berusaha tersenyum. Mencari jalan mesem walau wajah membeku.
Permintaan bunyi nyaring tetap tak didengar. Tangkap suara oleh para pemukim tanah. Semut malam menyentuh dada terurus. Aman membuatku terjaga mengingatkan doa. Restu tabur bunga harum tak pernah sirna. Pupus membuat ikan menari diriak sungai.
Cemerlang mengalir berlimpah dari mata. Benih dalam perut bumi semua melihat. Menatap serta menikmatinya semua mendengar. Endus timbunan suara angin mendesing. Berkesiuran dari samudera melewati pantai indah. Mulia menembus kesejukan pegunungan.
(Pondok Petir, 29 September 2019)