Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nama Orangtua, Bahan Bullying yang Menyakitkan

3 Oktober 2025   12:54 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar, sumber: KlikDokter

Siapa sangka, pelajaran Bahasa Indonesia yang biasanya penuh canda dan kreativitas bisa berubah jadi ajang adu mulut? Itulah yang terjadi di sebuah kelas ketika saya meminta siswa membuat kalimat. Anak-anak putra dengan kompak memasukkan nama bapak atau ibu teman perempuannya ke dalam kalimat.

Awalnya mereka hanya menganggap itu lucu, tetapi bagi anak-anak perempuan, nama orang tua adalah sesuatu yang sakral dan tak pantas dijadikan bahan main-main. Dari situlah muncul protes, marah, bahkan pertengkaran kecil yang membuat suasana kelas mendadak panas.

Peristiwa ini tampaknya sepele, tapi siapa pun yang pernah menjadi korban tahu rasanya, perih, malu, dan tidak jarang menimbulkan dendam. Bullying dengan menyebut nama orang tua bukanlah hal baru, bahkan sudah turun-temurun. Namun di balik itu semua, dampaknya bisa jauh lebih serius daripada sekadar bahan tawa di kelas.

Bagi sebagian besar dari kita, ejekan dengan menyebut nama orang tua sebenarnya bukan hal asing. Sejak kecil, kita mungkin pernah mendengar teman sebaya memanggil kita dengan nama ayah atau ibu, lalu menertawakannya bersama-sama.

Kebiasaan ini kemudian terbawa sampai generasi sekarang. Bedanya, di era media sosial, ejekan nama orang tua bisa semakin mudah menyebar. Tak jarang ada anak yang membuat video singkat, lalu mengunggahnya ke TikTok atau Instagram. Satu ejekan kecil yang tadinya hanya terdengar di ruang kelas, bisa menyebar ke ratusan mata dalam hitungan menit.

Masalahnya, tidak semua anak punya ketahanan yang sama. Ada yang bisa menanggapinya dengan tawa, ada pula yang langsung merasa sakit hati, bahkan menangis. Lebih jauh, ada anak yang menyimpan rasa perih itu lama sekali, karena ejekan tersebut menyentuh bagian paling sensitif dalam hidupnya, keluarga.

Kenapa nama orang tua jadi sensitif? Nama orang tua bukan hanya sebutan. Ia adalah simbol identitas, kasih sayang, perjuangan, bahkan kenangan. Maka ketika nama itu dijadikan bahan ejekan, seolah-olah kehormatan keluarga ikut dipermainkan.

Bayangkan seorang anak yang ayahnya sudah tiada, lalu nama ayahnya dipakai sebagai bahan lelucon. Atau seorang anak yang ibunya bekerja di luar negeri dan jarang pulang, tiba-tiba mendengar nama ibunya dijadikan contoh kalimat dalam tawa teman-temannya. Perasaan apa yang kira-kira muncul?

Tidak berhenti di situ, bagi anak yang tumbuh dengan pengalaman pahit, misalnya orang tuanya pernah bersikap kasar atau tidak peduli, mendengar nama orang tua disebut sembarangan bisa membangkitkan kembali trauma lama.

Karena itulah ejekan nama orang tua tidak bisa dianggap candaan biasa. Ia bisa menusuk hati lebih dalam dari yang kita bayangkan.

Bullying dengan menyebut nama orang tua memang tidak menimbulkan luka fisik. Namun dampak psikologisnya nyata dan serius. Beberapa di antaranya:

  1. Menurunkan harga diri. Anak merasa direndahkan, seolah-olah keluarganya bahan tertawaan.
  2. Trauma emosional. Ejekan bisa memicu ingatan buruk tentang orang tua, terutama bila ada pengalaman pahit.
  3. Muncul rasa benci. Korban bisa membenci teman yang mengejek, bahkan kesal pada orang tuanya sendiri karena dijadikan bahan olok-olokan.
  4. Konsentrasi belajar terganggu. Anak sulit fokus saat belajar karena pikirannya terus terganggu oleh ejekan.
  5. Memicu konflik fisik. Tak jarang, pertengkaran kecil berujung adu mulut atau perkelahian.

Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa ejekan sekecil apa pun bisa membawa efek domino yang besar bagi suasana kelas maupun perkembangan anak.

Masalah lain adalah banyak anak yang tidak sadar bahwa menyebut nama orang tua temannya itu termasuk bullying. Mereka menganggapnya itu hanya bahan bercanda.

Kenapa sih anak-anak masih sering mengejek dengan menyebut nama orang tua? Pertama, karena mereka memang belum paham bahwa hal itu bisa sangat menyakitkan bagi temannya. Kedua, pengaruh lingkungan juga besar, kalau di sekitar mereka perilaku itu dianggap lucu, otomatis mereka akan ikut-ikutan.

Ketiga, ada keinginan untuk diakui, sebagian anak merasa lebih keren atau lebih diterima kelompoknya ketika bisa melontarkan ejekan semacam itu. Namun, candaan yang dianggap ringan bisa menjadi beban berat bagi korban.

Sekolah pada dasarnya sudah berusaha. Penyuluhan tentang bullying sering dilakukan, bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak. Tetapi di kelas, fenomena ini tetap muncul. Mengapa? Karena teori tidak cukup tanpa praktik nyata.

Disinliah, guru punya peran strategis untuk menghentikan tradisi ejekan nama orang tua. Peran ini bukan sekadar menegur, tetapi menegur dengan edukasi. Artinya, guru tidak cukup hanya memarahi anak yang mengejek, melainkan juga harus menjelaskan mengapa perbuatan itu berbahaya dan bisa menyakiti perasaan teman. Dengan cara ini, anak-anak bisa memahami dampak tindakannya, bukan hanya takut karena dimarahi.

Selain itu, guru juga perlu menciptakan ruang aman bagi siswa. Anak harus merasa bebas melapor tanpa takut disebut "pengadu" atau "cengeng". Ruang aman ini bisa dibangun dengan sikap guru yang terbuka, mau mendengarkan, dan tidak langsung menghakimi. Bila anak merasa dilindungi, mereka akan lebih berani berbicara ketika mengalami bullying.

Tidak kalah penting, setiap laporan yang masuk harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata. Guru tidak boleh berhenti pada nasihat semata, tetapi perlu melibatkan orang tua, baik dari pihak korban maupun pelaku. Dengan komunikasi yang baik antara sekolah dan keluarga, penyelesaian masalah akan lebih efektif. Kerja sama inilah yang bisa memutus rantai ejekan nama orang tua di sekolah.

Dengan sikap tegas namun edukatif, anak-anak bisa belajar bahwa perbuatan kecil bisa membawa akibat besar.

Anak juga perlu dibekali cara menghadapi ejekan nama orang tua. Diam saja bukan solusi, karena akan membuat pelaku merasa aman untuk terus melakukannya.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan anak ketika menghadapi ejekan nama orang tua. Langkah pertama adalah berani bicara tegas kepada pelaku, misalnya dengan mengatakan, "Saya tidak suka kalau kamu sebut nama orang tua saya."

Sikap tegas ini penting agar pelaku tahu bahwa perbuatannya tidak menyenangkan. Selain itu, anak juga perlu belajar untuk tidak menanggapi dengan emosi berlebihan. Jika korban marah besar atau bereaksi terlalu keras, justru pelaku merasa berhasil membuatnya kesal.

Bila ejekan tidak juga berhenti, anak sebaiknya segera melapor kepada wali kelas, guru BK, atau guru pendamping. Jangan lupa, dukungan teman sebaya juga bisa sangat membantu.

Dengan adanya solidaritas dari teman-teman lain, korban akan merasa lebih kuat dan pelaku pun segan untuk mengulangi perbuatannya. Keberanian anak untuk menyatakan ketidaknyamanan adalah kunci memutus rantai bullying ini.

Orang tua tidak bisa lepas tangan dalam masalah bullying, termasuk ejekan dengan nama orang tua. Sering kali, anak yang menjadi korban memilih diam karena takut dimarahi atau dianggap lemah. Karena itu, orang tua perlu hadir sebagai pihak pertama yang mau mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi. Saat anak bercerita, dengarkan dengan tenang dan jangan langsung menyalahkan.

Selain itu, orang tua perlu menunjukkan empati. Katakan bahwa perasaan anak valid dan wajar jika ia merasa sakit hati ketika diejek. Orang tua juga sebaiknya tidak hanya menyelesaikan masalah di rumah, tetapi bekerja sama dengan sekolah. Dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan guru, penanganan kasus bullying bisa lebih cepat dan efektif.

Terakhir, orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan nilai saling menghargai sejak dini. Anak belajar pertama kali dari rumah untuk tidak merendahkan atau mengejek orang lain. Dengan dukungan dan teladan yang konsisten dari orang tua, anak akan lebih percaya diri menghadapi bullying dan tumbuh menjadi pribadi yang peka terhadap perasaan orang lain.

Zaman sekarang, ejekan nama orang tua tidak hanya berhenti di kelas. Media sosial bisa memperbesar dampaknya. Nama orang tua dijadikan meme, caption, atau bahan komentar di grup.

Masalahnya, bullying di media sosial jauh lebih sulit dikendalikan karena konten bisa dilihat banyak orang sekaligus, sekali tersebar hampir mustahil dihapus, dan membuat korban merasa dipermalukan lebih luas. Karena itu, literasi digital menjadi sangat penting, anak perlu diajarkan etika berkomunikasi di dunia maya sekaligus memahami konsekuensi dari setiap unggahan yang bisa merugikan orang lain.

Menghentikan tradisi ejekan nama orang tua tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Diperlukan keterlibatan semua pihak, siswa, guru, orang tua, bahkan masyarakat.

Kuncinya adalah keterbukaan dan komunikasi. Anak berani bicara, guru mau mendengarkan, orang tua ikut mendukung. Dengan begitu, sekolah akan menjadi tempat yang aman, nyaman, dan bebas dari bullying.

Memanggil dengan nama orang tua mungkin tampak kecil, tapi dampaknya bisa sangat besar. Bagi sebagian anak, itu hanya candaan. Namun bagi yang lain, itu bisa menjadi luka yang sulit dilupakan.

Sudah saatnya kita berhenti menganggapnya sepele. Karena sesungguhnya, bullying sekecil apa pun bentuknya tidak bisa ditoleransi.

Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang lebih sehat, di mana setiap anak merasa dihargai, aman, dan berani menjadi dirinya sendiri tanpa takut dilecehkan dengan nama orang tuanya.

Blitar, 3 Oktober 2025

Enik Rusmiati

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun