Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nama Orangtua, Bahan Bullying yang Menyakitkan

3 Oktober 2025   12:54 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:01 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar, sumber: KlikDokter

Bullying dengan menyebut nama orang tua memang tidak menimbulkan luka fisik. Namun dampak psikologisnya nyata dan serius. Beberapa di antaranya:

  1. Menurunkan harga diri. Anak merasa direndahkan, seolah-olah keluarganya bahan tertawaan.
  2. Trauma emosional. Ejekan bisa memicu ingatan buruk tentang orang tua, terutama bila ada pengalaman pahit.
  3. Muncul rasa benci. Korban bisa membenci teman yang mengejek, bahkan kesal pada orang tuanya sendiri karena dijadikan bahan olok-olokan.
  4. Konsentrasi belajar terganggu. Anak sulit fokus saat belajar karena pikirannya terus terganggu oleh ejekan.
  5. Memicu konflik fisik. Tak jarang, pertengkaran kecil berujung adu mulut atau perkelahian.

Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa ejekan sekecil apa pun bisa membawa efek domino yang besar bagi suasana kelas maupun perkembangan anak.

Masalah lain adalah banyak anak yang tidak sadar bahwa menyebut nama orang tua temannya itu termasuk bullying. Mereka menganggapnya itu hanya bahan bercanda.

Kenapa sih anak-anak masih sering mengejek dengan menyebut nama orang tua? Pertama, karena mereka memang belum paham bahwa hal itu bisa sangat menyakitkan bagi temannya. Kedua, pengaruh lingkungan juga besar, kalau di sekitar mereka perilaku itu dianggap lucu, otomatis mereka akan ikut-ikutan.

Ketiga, ada keinginan untuk diakui, sebagian anak merasa lebih keren atau lebih diterima kelompoknya ketika bisa melontarkan ejekan semacam itu. Namun, candaan yang dianggap ringan bisa menjadi beban berat bagi korban.

Sekolah pada dasarnya sudah berusaha. Penyuluhan tentang bullying sering dilakukan, bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak. Tetapi di kelas, fenomena ini tetap muncul. Mengapa? Karena teori tidak cukup tanpa praktik nyata.

Disinliah, guru punya peran strategis untuk menghentikan tradisi ejekan nama orang tua. Peran ini bukan sekadar menegur, tetapi menegur dengan edukasi. Artinya, guru tidak cukup hanya memarahi anak yang mengejek, melainkan juga harus menjelaskan mengapa perbuatan itu berbahaya dan bisa menyakiti perasaan teman. Dengan cara ini, anak-anak bisa memahami dampak tindakannya, bukan hanya takut karena dimarahi.

Selain itu, guru juga perlu menciptakan ruang aman bagi siswa. Anak harus merasa bebas melapor tanpa takut disebut "pengadu" atau "cengeng". Ruang aman ini bisa dibangun dengan sikap guru yang terbuka, mau mendengarkan, dan tidak langsung menghakimi. Bila anak merasa dilindungi, mereka akan lebih berani berbicara ketika mengalami bullying.

Tidak kalah penting, setiap laporan yang masuk harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata. Guru tidak boleh berhenti pada nasihat semata, tetapi perlu melibatkan orang tua, baik dari pihak korban maupun pelaku. Dengan komunikasi yang baik antara sekolah dan keluarga, penyelesaian masalah akan lebih efektif. Kerja sama inilah yang bisa memutus rantai ejekan nama orang tua di sekolah.

Dengan sikap tegas namun edukatif, anak-anak bisa belajar bahwa perbuatan kecil bisa membawa akibat besar.

Anak juga perlu dibekali cara menghadapi ejekan nama orang tua. Diam saja bukan solusi, karena akan membuat pelaku merasa aman untuk terus melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun