Kata-kata itu membuat Fauzi menunduk. Namun semangatnya tetap menyala. Ia pun melanjutkan tugas-tugas itu sampai larut malam, meski tubuhnya makin lelah.
Keesokan harinya, guru matematika mengumumkan akan ada lomba cerdas cermat antar kelas. Fauzi sangat antusias. Ia ingin sekali ikut, karena matematika adalah pelajaran favoritnya.
Namun, saat ia mengajukan diri, teman sekelasnya justru menolak, "Jangan Fauzi, nanti malah nyusahin. Dia kan gampang capek," kata Randi dengan nada meremehkan.
"Iya, pilih yang lain aja. Kalau dia pingsan di tengah lomba, kelas kita bisa malu," tambah yang lain.
Fauzi terdiam. Hatinyanya terasa tertusuk. Ia ingin berteriak bahwa tubuh boleh lemah, tapi otaknya tidak. Namun kata-kata itu tertelan oleh rasa minder.
Guru hanya tersenyum kaku, "Dalam kompetisi ini, siapapun boleh iku."
Sejak saat itu, Fauzi semakin sering menyendiri di perpustakaan. Ia tetap belajar keras, tapi hatinya penuh luka. Hari perlombaan tiba. Fauzi hanya duduk di bangku penonton. Ia menonton dengan mata berbinar, meski hatinya perih. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan juri. Beberapa cukup mudah bagi Fauzi. Dalam hati, ia bisa menjawab semuanya.
Tiba-tiba, di babak penentuan, kelasnya terjebak di soal sulit. Tak ada yang bisa menjawab. Waktu hampir habis.
Refleks, Fauzi berdiri dari kursinya dan berteriak, "Jawabannya 125!"
Seluruh ruangan menoleh. Guru juri mengernyit, lalu memeriksa. Dan ternyata benar. Jawabannya 125.
Sorak-sorai penonton pecah. Teman-teman sekelasnya terkejut. Mereka menatap Fauzi dengan wajah tak percaya. Guru matematika tersenyum bangga.