Guru perpustakaan, Bu Ratna, melihatnya. Wanita itu mendekat dan bertanya pelan, "Kenapa menangis, Fauzi?"
Fauzi buru-buru mengusap air matanya, "Tidak, Bu. Hanya... capek sedikit."
Bu Ratna menatap tumpukan buku di mejanya, "Capek mengerjakan tugas teman-temanmu, ya?"
Fauzi terdiam. Matanya basah. Ia ingin berkata jujur, tapi takut dibilang pengadu. Akhirnya ia hanya mengangguk kecil.
"Fauzi," Bu Ratna menepuk bahunya lembut, "Kamu anak pintar. Jangan biarkan orang lain memanfaatkanmu. Tugas itu untuk belajar masing-masing, bukan membebanimu. Kalau kamu merasa keberatan, katakan saja 'tidak'."
Kata-kata itu menancap di hati Fauzi. Tapi, bagaimana mungkin ia menolak? Teman-temannya bisa marah atau mengejeknya.
Malam itu, Fauzi duduk di meja belajarnya. Lampu redup, buku-buku berserakan. Ia memandang daftar tugas yang harus ia selesaikan. Ada tugasnya sendiri, ada pula milik tiga teman.
Ia menutup buku, menatap keluar jendela. Langit gelap, bintang bertebaran. Ia menahan dadanya yang kembali sesak. Ya Allah, kuatkan aku. Aku ingin belajar. Aku ingin menjadi orang yang berguna. Tapi kenapa aku harus selalu dimanfaatkan?
Orang tuanya masuk kamar. Ibu duduk di sampingnya, membelai kepalanya, "Nak, jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, kesehatanmu lebih penting."
"Aku ingin pintar, Bu. Aku ingin seperti teman-teman lain. Aku tidak mau kalah karena tubuhku lemah."
Ibunya tersenyum sedih, "Kamu tidak kalah, Zi. Justru kamu sudah menang, karena bisa bertahan sejauh ini."