Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dibalik Wajah Pucat

22 September 2025   14:38 Diperbarui: 22 September 2025   14:38 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: harianmerapi.com

Dibalik Wajah Pucat

Perpustakaan itu selalu sunyi di jam istirahat. Anak-anak lain lebih suka berlarian di lapangan, berteriak-teriak sambil bermain kasti atau sekadar bercengkerama di kantin. Tapi tidak dengan Fauzi. Baginya, tempat paling aman dan nyaman adalah di antara rak-rak buku yang berderet rapi. Bau kertas yang khas, suara halaman yang bergesek pelan, dan cahaya matahari yang menembus jendela besar membuat hatinya tenang.

Fauzi duduk di kursi dekat jendela, membuka buku matematika dengan pulpen yang sudah hampir habis tintanya. Sesekali ia menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di dada. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu, tubuhnya memang rapuh. Sejak lahir, ia menyandang kelainan jantung yang membuat fisiknya tampak kecil dan pucat. Kukunya berwarna kebiruan, bibirnya pun serupa. Setiap langkah harus ia atur, sebab jika terlalu cepat, napasnya akan tersengal-sengal.

Namun di balik tubuh yang lemah itu, ada semangat yang tak pernah padam. Fauzi menyukai ilmu. Ia percaya, membaca buku sama halnya dengan membuka pintu kehidupan. Dengan belajar, ia merasa tak kalah dari teman-teman lain yang tubuhnya sehat.

"Zi, kerjain ini ya," suara berat seorang anak memecah keheningan.

Itu Randi, teman sekelas yang dikenal suka memanfaatkan Fauzi. Ia meletakkan buku catatan IPS di meja Fauzi, "Besok dikumpulin. Kau kan pinter, pasti bisa."

Fauzi menatap buku itu dengan ragu. Ia lelah, semalam ia sudah menuntaskan hafalan Alquran dan belajar matematika. Namun, menolak juga bukan hal mudah. Ia terbiasa mengalah, "Baik," jawabnya lirih.

Tak lama, tiga anak lain ikut meletakkan tugas mereka di meja Fauzi, "Tolong ya, Zi. Nanti kalau kamu bantu, kita traktir es teh di kantin," kata salah satu sambil tertawa.

Fauzi hanya tersenyum kecil. Ia tahu itu bukan traktiran sungguhan, hanya candaan. Tapi dalam hati ia berpikir: Kalau aku kerjakan, aku juga belajar. Bukankah itu keuntungan bagiku? Meski ada rasa diperlakukan tidak adil, semangatnya untuk belajar tetap lebih besar.

Suatu siang, saat ia sedang menyalin jawaban untuk temannya, air matanya jatuh begitu saja. Ia merasa tubuhnya sangat lelah. Jari-jarinya kaku, napasnya pendek. Namun, ia tetap memaksakan diri.

Guru perpustakaan, Bu Ratna, melihatnya. Wanita itu mendekat dan bertanya pelan, "Kenapa menangis, Fauzi?"

Fauzi buru-buru mengusap air matanya, "Tidak, Bu. Hanya... capek sedikit."

Bu Ratna menatap tumpukan buku di mejanya, "Capek mengerjakan tugas teman-temanmu, ya?"

Fauzi terdiam. Matanya basah. Ia ingin berkata jujur, tapi takut dibilang pengadu. Akhirnya ia hanya mengangguk kecil.

"Fauzi," Bu Ratna menepuk bahunya lembut, "Kamu anak pintar. Jangan biarkan orang lain memanfaatkanmu. Tugas itu untuk belajar masing-masing, bukan membebanimu. Kalau kamu merasa keberatan, katakan saja 'tidak'."

Kata-kata itu menancap di hati Fauzi. Tapi, bagaimana mungkin ia menolak? Teman-temannya bisa marah atau mengejeknya.

Malam itu, Fauzi duduk di meja belajarnya. Lampu redup, buku-buku berserakan. Ia memandang daftar tugas yang harus ia selesaikan. Ada tugasnya sendiri, ada pula milik tiga teman.

Ia menutup buku, menatap keluar jendela. Langit gelap, bintang bertebaran. Ia menahan dadanya yang kembali sesak. Ya Allah, kuatkan aku. Aku ingin belajar. Aku ingin menjadi orang yang berguna. Tapi kenapa aku harus selalu dimanfaatkan?

Orang tuanya masuk kamar. Ibu duduk di sampingnya, membelai kepalanya, "Nak, jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, kesehatanmu lebih penting."

"Aku ingin pintar, Bu. Aku ingin seperti teman-teman lain. Aku tidak mau kalah karena tubuhku lemah."

Ibunya tersenyum sedih, "Kamu tidak kalah, Zi. Justru kamu sudah menang, karena bisa bertahan sejauh ini."

Kata-kata itu membuat Fauzi menunduk. Namun semangatnya tetap menyala. Ia pun melanjutkan tugas-tugas itu sampai larut malam, meski tubuhnya makin lelah.

Keesokan harinya, guru matematika mengumumkan akan ada lomba cerdas cermat antar kelas. Fauzi sangat antusias. Ia ingin sekali ikut, karena matematika adalah pelajaran favoritnya.

Namun, saat ia mengajukan diri, teman sekelasnya justru menolak, "Jangan Fauzi, nanti malah nyusahin. Dia kan gampang capek," kata Randi dengan nada meremehkan.

"Iya, pilih yang lain aja. Kalau dia pingsan di tengah lomba, kelas kita bisa malu," tambah yang lain.

Fauzi terdiam. Hatinyanya terasa tertusuk. Ia ingin berteriak bahwa tubuh boleh lemah, tapi otaknya tidak. Namun kata-kata itu tertelan oleh rasa minder.

Guru hanya tersenyum kaku, "Dalam kompetisi ini, siapapun boleh iku."

Sejak saat itu, Fauzi semakin sering menyendiri di perpustakaan. Ia tetap belajar keras, tapi hatinya penuh luka. Hari perlombaan tiba. Fauzi hanya duduk di bangku penonton. Ia menonton dengan mata berbinar, meski hatinya perih. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan juri. Beberapa cukup mudah bagi Fauzi. Dalam hati, ia bisa menjawab semuanya.

Tiba-tiba, di babak penentuan, kelasnya terjebak di soal sulit. Tak ada yang bisa menjawab. Waktu hampir habis.

Refleks, Fauzi berdiri dari kursinya dan berteriak, "Jawabannya 125!"

Seluruh ruangan menoleh. Guru juri mengernyit, lalu memeriksa. Dan ternyata benar. Jawabannya 125.

Sorak-sorai penonton pecah. Teman-teman sekelasnya terkejut. Mereka menatap Fauzi dengan wajah tak percaya. Guru matematika tersenyum bangga.

"Sayang sekali, jawaban dari penonton tidak bisa dihitung. Tapi hebat sekali, Fauzi!" ujar juri.

Wajah Fauzi memerah. Ia merasa malu sekaligus bangga. Untuk pertama kalinya, semua orang melihat kecerdasannya, bukan kelemahan fisiknya.

Sejak hari itu, pandangan teman-temannya berubah. Randi yang biasanya memanfaatkan Fauzi, datang mendekat, "Zi, maaf ya. Selama ini aku sering nyuruh kamu. Ternyata kamu jauh lebih pintar dari kami."

Fauzi tersenyum, "Tidak apa-apa. Aku juga belajar dari tugas kalian."

Perlahan, ia mulai dihargai. Meski tubuhnya lemah, otaknya menjadi kekuatan. Ia tetap sering ke perpustakaan, tapi kini tidak lagi sendirian. Beberapa teman mulai menemaninya belajar.

Bu Ratna, sang pustakawan, menepuk bahunya suatu hari, "Kamu membuktikan satu hal penting, Fauzi. Keterbatasan fisik bukan halangan untuk berprestasi."

Fauzi mengangguk. Dalam hati ia berbisik, Ya Allah, terima kasih. Aku ingin terus belajar. Meski langkahku kecil, aku akan melangkah sejauh mungkin.

Hari-hari Fauzi tetap penuh perjuangan. Ia masih sering sesak napas, masih harus berhati-hati dalam bergerak. Namun kini ia tahu, dirinya tidak sendirian. Semangatnya untuk menuntut ilmu justru membuat orang lain kagum.

Perpustakaan tetap menjadi tempat favoritnya. Di sanalah ia menemukan ketenangan, kekuatan, dan keyakinan bahwa ilmu bisa mengalahkan keterbatasan. Fauzi mungkin berjalan dengan langkah kecil, menyeret kaki, dengan napas yang berat. Tetapi semangatnya melangkah jauh melampaui batas tubuhnya.

Blitar, 22 September 2025

Enik Rusmiati

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun