Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karena Tangisan Wanita itu

22 November 2020   10:39 Diperbarui: 22 November 2020   10:43 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita yang menangis, Sumber; hipwee.com

"Mas, Mas Pono, sepurane (maafkan) Mas," terdengar suara tangisan seorang wanita muda, di ruang observasi Rumah Sakit Medical. Kalimat itu diulangnya berkali-kali. Kadang sedikit menjerit, terkadang melemah. Sesekali hanya terdengar sesenggukan saja.

Aku tidak tahu persis, siapa yang menangis dan siapa yang ditangisi. Karena aku hanya bisa mendengarnya dari balik kelambu ruang tindakan pertama di rumah sakit ini. Namun aku bisa merasakan kesedihan dan kepiluan wanita itu.

Rintihan yang disertai tangisan wanita itu sungguh mengiris-iris ulu hatiku. Belum pernah aku mendengar nada tangisan dan ratapan permohonan perih seperti malam ini. 

Sebenarnya ingin sekali aku meloncat dan melihat apa yang terjadi di ruang sebelah. Namun, tentu tidak etis masuk dalam ruang orang yang belum aku kenal. Lagian kakiku masih belum diberi tindakan apapun oleh perawat.

Dari suaranya, menurutku wanita itu umurnya kisaran  30-an tahun. Selain wanita itu ada wanita lain yang kelihatannya lebih tua dibanding wanita yang meratap sambal menangis tadi.

"Sabar yo Nduk, harus kuat, pasrahkan semua takdir ini pada Allah SWT," terdengar nasihat dari sosok wanita lain yang berbeda dari wanita tadi. Sementara wanita muda tadi masih terus menangis, kali ini rintihanya lebih meninggi dari yang awal tadi.

Tiba-tiba dari balik kelambu muncul dua anak muda, laki-laki dan perempuan, yang laki-laki mendorong peralatan medis sedangkan yang perempuan membawa batol-botol berisi air, entah air apa aku juga tidak paham, mereka mendekat ke sebelahku.

"Maaf ya Pak, luka ibu saya bersihkan dulu, untuk tindakan berikutnya menunggu dokter," jelas lelaki itu kepada suamiku.

"Iya Mas, tidak apa-apa," jawab suamiku memaklumi keadaan ini. Aku dan suamiku masih tercengang dengan keadaan ini. Begitu memasuki ruangan Instalasi Gawat Darurat, dua kamar yang hanya dibatasi dengan kelambu ini sudah dipenuhi dengan pasien kritis. Dan aku tepat berada di kamar yang tengah.

Karena aku hanya diantar suamiku, jadi aku hanya sendiri di kamar ini, saat suamiku mengurus andministrasi di loket depan. Menghadapi suasana seperti ini, sobekan dikakiku akibat jatuh dari motor tadi, rupanya sedikit terlupakan, setelah mendengar suara-suara dari kamar sebelahku.  

"Dokter, dokter, tolong suamiku," lagi-lagi suara wanita tadi semakin histeris, "Mas, Mas Pono, maafkan aku mas, jangan tinggalkan aku Mas, jangan tinggalkan anak-anak Mas,"  kali ini suara wanita tadi lebih melemah. Sampai akhirnya tidak terdengar lagi suarnya.

Mendengar ratapan dan tangisan yang menyayat dari ruang sebelah karena hanya bersekat dengan kain kelambu, menjadikan suasana di seluruh ruangan ini terdiam. Alat-alat medis yang berada di sudut ruangan ini seolah menjadi saksi kepiluan wanita belia menghadapi perjuangan antara hidup dan mati orang yang dicintainya.

Terdengar suara benturan ringan dan perintah halus sang dokter saat melaksanakan tindakan cepat terhadap pasien. Tanpa kesepakatan, aku dan suamiku terdiam. Kami berdua seperti terhipnotis oleh tangisan dan rintihan wanita itu. Tiba-tiba ada ketakutan yang menyeruak ke sekujur tubuhku. Ketakutan tentang sebuah kehilangan orang tercinta.

Aku melihat wajah suamiku yang tertunduk, aku lihat bibirnya mengucap zikir lirih. Sesekali pandangan kami bertatapan. Aku yakin dalam pikiran suamiku pun berkecamuk hal yang sama.

Bagaimana kalau aku berada di posisi sebagai wanita itu. Ya Allah, panjangkan umur suamiku. Beri aku waktu lebih panjang agar bisa membersamai suamiku dalam suka dan dukanya.

Maafkan aku Mas, kalau hari-hari kemarin aku sering membantah keinginanmu, maafkan aku yang selalu ingin menang sendiri, batinku

***

"Mas, izinkan aku menerima beasiswa ini ya Mas, aku mohon."

"Terus bagaimana dengan anak-anak, mereka kan masih kecil, masih butuh perhatian mamanya."

"Kan ada ibu, mbak Mila dan dek Syifa Mas, mereka pasti mau dimintai tolong jagain anak-anak."

"Tapi mereka kan bukan mamanya Dik," jelas suamiku dengan lembut. "Lagian mereka kan juga sudah punya keluarga sendiri, nggak enak kan kalau setiap hari harus ngrepotin mereka."

"Sayang lo Mas, kalau tidak diambil, ini demi karir aku, hanya dua tahun, aku kan masih bisa betemu dengan mereka, toh nanti untuk keluarga juga kan Mas."

Aku terus berusaha merayu suamiku, selama itu pula suamiku belum memberikan izinnya kepadaku. Bahkan aku sempat marah, karena menurutku suamiku itu egois. Tidak perhatian dengan kebahagiaanku.

Suamiku memang sangat mementingkan keluarga, sebenarnya aku tahu itu. Namun aku tetap saja berharap suatu saat akan luluh, dan mengihlaskanku menerima beasiswa dari kantor.

***

"Mas Pono," terdengar lagi jeritan wanita di sebelah ruang tempatku di rawat. Kali ini suaranya lebih tinggi dari yang sebelumnya. Setelah itu lenyap. Namun terdengar suara seorang yang berjalan cepat dengan mendorong tempat tidur keluar dari ruangan. Selanjutnya disusul oleh beberapa langkah kaki di belakangnya.

"Maaf ya Bu, ini agak sakit, Ibu tahan sebentar ya," aku hampir tidak merasakan bahwa saat ini kakiku sedang disuntik bius.

Aku pegang tangan suamiku erat-erat, sakit karena luka di kakiku ini tidak sebarapa dibanding sakitnya kepedihan wanita itu karena harus kehilangan orang dicintainya. Aku akan berbakti kepada suamiku, karena aku tidak tahu kapan ajal akan menjemput kami.

Yang pasti aku ingin mengabdikan sedetik napasku menjadi embun keluargaku, yang mampu menyejukkan kegersangan. Aku ingin mengabdikan sedetik napasku menjadi rembulan, yang akan menjaga penat lelah suamiku setelah seharian terpapar matahari. Aku juga ingin mengabdikan sedetik napasku menjadi senja, yang akan memberi aroma jingga dan kemuning pada sudut keheningan rumahku.

Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikan aku suami dan ayah terbaik untukku dan anak-anakku, aku belum siap bila harus kehilangan.

Blitar, 22 November 2020

Enik Rusmiati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun