Mohon tunggu...
Muhammad Endriyo Susila
Muhammad Endriyo Susila Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Berminat pada kajian seputar Hukum Kesehatan (Health Law), khususnya Hukum Kedokteran (Medical Law), lebih khusus lagi Hukum Malpraktik Medik (Medical Malpractice Law). Latar Belakang Pendidikan: SH (UNDIP), MCL (IIUM), PHD (IIUM)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hubungan Dokter-Pasien dan Perlunya Informed Consent

29 Oktober 2020   21:03 Diperbarui: 1 April 2024   13:08 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hubungan hukum antara dokter dan pasien bersifat kontraktual (contractual relationship). Hubungan kontraktual adalah hubungan hukum yang timbul karena adanya suatu perjanjian (contract). Suatu perjanjian melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut (contracting parties).

Perjanjian antara dokter dan pasien atau sering disebut sebagai transaksi terapetik (therapeutische transactie/therapeutic transaction) melahirkan hak dan kewajiban bagi dokter maupun pasien.  Dari sisi dokter, dokter berkewajiban mengobati penyakit yang diderita oleh si pasien. Atas jasanya (prestasi) tersebut, dokter berhak menerima honorarium. Sedangkan dari sisi pasien, pasien berhak memperoleh layanan pengobatan dari pihak Dokter dan berkewajiban memberikan 'kontra prestasi' berupa pembayaran honorarium.

Dalam transaksi terapetik, pengobatan dilaksanakan berdasarkan persetujuan pasien. Dalam hal ini, pasien tidak sekedar memberi persetujuan untuk diobati tetapi ia juga memberi persetujuan dengan cara bagaimana ia akan diobati. Dengan kata lain, pasien tidak sekedar menerima apa saja tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter, melainkan ikut memutuskan metode terapi yang akan diterapkan pada dirinya.

Agar dapat mengambil keputusan dengan cermat, maka pasien harus memiliki pemahaman yang baik sekurang-kurangnya tentang jenis penyakit yang dideritanya, alternatif terapi yang tersedia serta resikonya. Oleh karena itu pasien harus diberi penjelasan selengkap-lengkapnya oleh pihak dokter sehingga ia benar-benar paham (well informed). Persetujuan (consent) yang diberikan oleh pihak pasien tentang tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter secara teknis disebut dengan istilah medical informed consent atau informed consent saja.

Pada mulanya informed consent hanya merupakan sebuah doktrin saja, tetapi kemudian diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks Indonesia, informed consent pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dalam peraturan tersebut, informed consent disebut dengan istilah 'Persetujuan Tindakan Medik.' Berikutnya, ketentuan tentang informed consent ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu: Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Pasal 45); Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran; Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 8); Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Pasal 32 huruf 'j' dan huruf 'k'); dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Pasal 58).

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mencabut berlakunya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan, termasuk beberapa undang-undang yang disebutkan di atas, maka pengaturan tentang informed consent harus merujuk pada  ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tersebut. Undang-undang ini menggunakan istilah 'persetujuan tindakan pelayanan kesehatan.' Hal ini bisa dimengerti karena Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah peraturan induk yang mengatur tentang pelayanan kesehatan baik yang diberikan oleh tenaga medis maupun tenaga kesehatan. Dalam undang-undang ini, persetujuan tindakan pelayanan kesehatan diatur di dalam Pasal 293-295. 

Dalam Pasal 293 dinyatakan bahwa, setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh tenaga medis  dan tenaga kesehatan harus mendapat persetujuan (Pasal 1). Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang memadai (Ayat 2).  Selanjutnya dijelaskan dalam Ayat 3 bahwa, penjelasan yang harus diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya mencakup: (a) diagnosis; (b) indikasi; (c) tindakan yang akan dilakukan serta tujuannya; (d) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; (d) alternatif tindakan dan risikonya; (e) risiko apabila tindakan tidak dilakukan; dan (f) prognosis setelah tindakan dilakukan.

Teknis pelaksanaan persetujuan tindakan pelayanan kesehatan oleh tenaga medis (medical informed consent) diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Peraturan ini merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, khususnya ketentuan Pasal 45 yang mengatur tentang persetujuan tindakan kedokteran dan kedokteran gigi. Meskipun Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Pasal 454), namun peraturan pelaksananya, termasuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Pasal 453).  

#HukumKesehatan #HukumKedokteran #HubunganDokterPasien #TransaksiTerapeutik #InformedConsent

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun