Â
Kita hidup di zaman yang ramai bicara tapi miskin makna.
Literasi sering dijadikan label, bukan kesadaran.
Lalu kita pun bertanya: apa sebenarnya yang disebut melek literasi?
Ketika seseorang berkata, "Anak sekarang sudah melek literasi," saya sering bertanya dalam hati: literasi yang seperti apa?
Apakah sekadar bisa membaca teks panjang di buku pelajaran?
Apakah karena mereka rajin menulis caption di Instagram atau mengirim voice note tanpa jeda?
Pertanyaan ini tak sekadar retoris.
Ia menjadi titik tolak perjalanan literasi Bahasa Indonesia yang harus dipahami lebih dalam.
Ternyata, literasi bukanlah aktivitas teknis.
Literasi adalah sebuah kesadaran.
Kita harus mulai membuka pemahaman dasar: bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan keterampilan untuk mengakses, memahami, mengolah, dan mengomunikasikan informasi secara efektif.
Literasi bukanlah milik akademisi.
Ia milik semua manusia yang ingin hidup bermakna.
Dan Bahasa Indonesia --- sebagai bahasa ibu bangsa --- menjadi wadah pertama di mana literasi itu tumbuh dan berakar.
Setelah memahami pengertian literasi secara luas, perjalanan pun berlanjut ke pengenalan ragam bahasa.
Mulai dari bahasa formal hingga informal, dari ragam tulis hingga lisan, semuanya adalah jembatan menuju literasi.
Bahasa adalah kendaraan berpikir.
Dan hanya dengan memahami konteks dan ragamnya, kita bisa menempatkan diri secara tepat --- baik di ruang kelas, forum publik, maupun di media sosial yang liar.
Tahap selanjutnya adalah masuk ke jantung literasi: keterampilan membaca.
Dengan keterampilan membaca yang baik, kita dapat membongkar mitos lama: bahwa membaca hanyalah langkah awal.
Padahal, esensi sejatinya adalah memahami, mengkritisi, dan mengolah makna.
Membaca bukan sekadar menerima informasi, melainkan membongkar, menimbang, menghubungkan, dan mengolah ulang.
Literasi membaca bukan soal jumlah buku, tapi kualitas pemahaman.
Banyak dari kita membaca cepat, tetapi lupa berhenti untuk mencerna.