Kita hanya membaca judul, tapi langsung menyimpulkan isi.
Kita baru mendengar potongan, tapi sudah merasa paling tahu.
Inilah mengapa hoaks menyebar lebih cepat dari logika, dan debat kusir lebih digemari daripada dialog.
Tanpa literasi yang utuh, kita jadi sangat rentan untuk dibentuk oleh narasi yang salah.
Dari perjalanan kita sejak awal, kita tiba pada titik krusial dalam literasi: berpikir kritis.
Inilah keterampilan puncak dari keseluruhan proses literasi.
Ia melatih kita untuk bertanya sebelum percaya, mengkaji sebelum menyimpulkan, dan berbicara dengan dasar, bukan sekadar selera.
Keterampilan-keterampilan inilah --- menyimak, membaca, menulis, berbicara, dan berpikir --- yang membentuk ekosistem literasi sejati.
Literasi bukan gaya hidup yang dipamerkan di profil media sosial.
Bukan pula indikator akademik yang sekadar dibanggakan.
Literasi sejati tidak ditentukan oleh seberapa sering kita mengucapkannya, tapi seberapa dalam kita menjalaninya.
Literasi tidak butuh pengakuan --- ia butuh penghayatan.
Karena pada akhirnya, literasi adalah gaya hidup yang diam-diam menyelamatkan kita dari manipulasi, polarisasi, dan kekacauan informasi.
Di zaman di mana semua orang bicara, literasi mengajarkan kita untuk mendengar.
Di era di mana opini diperlakukan sebagai fakta, literasi menuntun kita kembali pada nalar.
Dan ketika dunia makin berisik, literasi memberi kita ruang untuk membaca dalam diam dan menulis dengan terang.
Tujuan tulisan ini sederhana tapi mendalam:
menyampaikan bahwa literasi bukan sekadar indikator kecerdasan akademis, tapi cermin kematangan berpikir, berbicara, dan bersikap.
Dan Bahasa Indonesia --- yang kerap dianggap pelajaran remeh --- justru menjadi panggung pertama bagi literasi ini berkembang.
Jadi, kalau ada yang berkata, "Anak zaman sekarang sudah melek literasi," mungkin kita perlu bertanya ulang:
Apakah mereka hanya bisa membaca, atau benar-benar memahami apa yang mereka baca?
Apakah mereka hanya bisa berbicara, atau tahu kapan harus diam dan menyimak?
Apakah mereka hanya bisa menulis, atau sadar atas tanggung jawab dari setiap kata yang dituliskan?
Literasi adalah kawan kita semua,
bukan hanya milik para kutu buku.
Literasi adalah milik setiap jiwa yang ingin hidup dengan penuh makna.