Kita membaca, tapi tidak memahami.
Dan saat kita tak memahami, kita pun kehilangan kendali atas makna yang kita terima.
Keterampilan menulis tumbuh seiring dengan kemampuan membaca yang matang.
Menulis bukan soal panjang-pendeknya kalimat, tapi sejauh mana kita bisa menyusun makna.
Setiap paragraf adalah keputusan.
Setiap kata adalah arah.
Menulis bukan sekadar menyelesaikan atau menggugurkan tugas, tapi melatih berpikir tertib dan jernih.
Karena sejatinya, menulis adalah bentuk berpikir paling jujur. Tapi keterampilan menulis saja belum cukup. Dalam komunikasi, ada sisi lain yang tak kalah penting: berbicara --- dan yang lebih sulit lagi, menyimak.
Lalu bagaimana dengan keterampilan berbicara dan menyimak?
Menyampaikan ide bukan hanya soal keberanian, tapi juga struktur logika, pilihan kata, dan kepekaan terhadap audiens.
Berbicara dengan literasi berarti berbicara dengan tanggung jawab --- bukan untuk menang debat, tapi untuk menjembatani pikiran.
Namun berbicara yang baik harus diimbangi dengan keterampilan yang sering disepelekan: menyimak.
Menyimak bukan sekadar mendengarkan.
Ia menuntut perhatian, empati, dan kesabaran.
Dari menyimak, kita belajar untuk tidak buru-buru menghakimi.
Dari menyimak, kita belajar membaca makna yang tak tertulis.
Keterampilan ini yang sepertinya mulai pudar dari kebiasaan hidup kita sekarang.
Semua lebih senang bicara, tapi sedikit yang mau menyimak.
Jangankan menyimak, mendengarkan saja tidak.
Padahal, dalam diam pun ada kebijaksanaan.
Kita bicara, tapi tidak tahu kapan harus diam.
Literasi bukan hanya soal menyuarakan isi hati, tapi juga soal merawat ruang sunyi yang penuh makna.