Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepenggal Semeru

28 November 2012   13:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:32 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_211819" align="aligncenter" width="590" caption="the lake legend of ranu kumbolo"][/caption]

Ranu Kumbolo, tempat ini, selalu menyisakan segumpal enggan untuk beranjak. Terlalu indah, terlalu damai, terlalu menentramkan hati. It can be named as the power of exotism, saya selalu curiga tempat ini telah menjampe-jampe para pendaki, untuk selalu terbuai, untuk selalu ingin kembali mencumbu ilalang, menikmati kecipak riaknya yang tak seberapa, mengagumi hembus kabut yang tak pernah setia, selalu datang dan pergi begitu cepat.

Sore menjelang. Jarum pendek di pergelangan tangan saya menunjuk di angka 3. Jarum panjang sudah turun sekian derajat dari angka 12. “Turun sekarang, Fie?” tanya saya “Rain coverku, Mbak, masih terbawa mbak Ishma.” yang ditanya terbentur galau cover bag “Kita tunggu sebentar, info dari Habib, team mbak Ishma sudah sampai di Oro-oro ombo.” Saya dan Fie sengaja menahan diri, sekedar camping di Ranu Kumbolo, mengingat pendakian yang hiruk pikuk, Semeru sudah macem pasar kaget. Sebanyak hampir 3000 pendaki disebut-sebut menapak rute Ranu Pane sejak awal long weekend 15 November 2012. Niat awal begitu menggebu menggapai puncak, sudah kali ke sekian naik semeru, tetapi belum lulus juga mencapai titik ketinggian 3676 mdpl itu. Tetapi, melihat animo para pendaki yang over kuota, saya memilih melepas obsesi, mengingat bentang Kalimati, camp terakhir sebelum summit attack, meskipun luas dan datar, tetapi merupakan jalur angin. Belum lagi jaraknya yang cukup jauh dari sumber air dan seberapa mengantri di Sumbermani untuk mendapatkan air. Team kami sebenarnya ber-empat puluh sekian, sebut saja JKT44. Dari jumlah tersebut terbagi menjadi sub-sub team. Sub-team saya sendiri hanya berdua dengan Fie, sudah secara otomatis kami berusaha mandiri berdiri di atas team sendiri #halah. Bagaimana lah kami berdua yang hanya para wanita ini, begitu anak bawang, dan takut merepotkan orang lain, akhirnya memutuskan untuk menetap semalam di camp Ranu Kumbolo ketimbang menuju Kalimati, sementara malam berikutnya sudah tidak memungkinkan berguling hore di tepi danau indah ini. Dan sore ini lah, setelah sepanjang malam menikmati bintang, sepanjang pagi mencumbu matahari dan langit biru, sepanjang siang hunting hore di jalur tanjakan cinta – oro oro ombo – entrance cemoro kandang PP, saatnya kami bersiap untuk turun gunung.

[caption id="attachment_211824" align="aligncenter" width="553" caption="padang rumput oro-oro ombo"]

1354110278639796382
1354110278639796382
[/caption] “Trekking Pole di bawa mbak Ishma juga kan ya?” saya kembali bertanya kepada Fie. “Iya mbak.” Kami menunggu, sembari mengingat sesuatu yang barangkali tertinggal. Tenda sudah terbungkus rapi, sudah dititipkan porter (bukti betapa cemennya kami). Sementara kompor dan peralatan pribadi masih tetap kami bagi rata di keril masing-masing. Mendung menggantung ketika team Mbak Ishma yang mencapai kalimati (dan beberapa sampai di mahameru) kembali ke Ranu Kumbolo. Setelah serah terima barang-barang Fie, kami pamit duluan untuk turun. Sebelum kami, satu sub team dari empat puluh sekian ini sudah mendahului. Sisanya, beberapa turun belakangan, beberapa yang lain masih ingin menetap semalam di Ranu Kumbolo, termasuk Mbak Ishma. Meniti punggung bukit tepian Ranu Kumbolo, rintik gerimis sudah turun membayangi langkah. Kami sigap memimikri diri dengan balutan rain coat. Terbayang sudah jalur di depan kami, tanjakan menuju Pos IV akan rawan licin. Belum lagi jalur sepanjang turun, akan lebih sulit karena becek.

[caption id="attachment_211827" align="aligncenter" width="553" caption="Pos IV di atas Ranu Kumbolo, It must be more than 2400 mdpl"]

13541086572016997357
13541086572016997357
[/caption] “Kita nggak lewat sana aja, Mbak?” Fie menunjuk jalur punggung bukit yang sedikit memutar lembah untuk mencapai Pos IV. “Tanggung.” jawab saya. Kami sudah sampai di lembah area camping Ranu Kumbolo di bawah Pos IV. Kalau mau melewati jalur yang ditunjuk Fie, kami harus berbalik. “Nggak licin apa?” Pertanyaan Fie meragukan saya, tapi saya tetap maju. “Bismillah, Insya Allah nggak papa. Pelan-pelan aja.” Kata saya. Beruntung kami melewati jalur ini sebelum arus balik para pendaki dari arah Kalimati, setidaknya tingkat becek tidak akan separah setelah dilewati ribuan orang berikutnya. Dan benar saja, setiap tanjakan terasa semakin berat ketika kami menitinya dikala hujan. Arus air yang menghambat langkah, hawa dingin, basah, mata pedih, dan segala himpit lain yang menantang kami untuk tetap bertahan dan terus berjalan. Saya sempat entrapted di tengah-tengah tanjakan, karena kesulitan untuk menentukan pijakan yang tepat, sekaligus membagi keseimbangan tubuh. Di gunung, selalu saja, siapapun yang lapang akan dengan rela menolong yang kesulitan. Alhamdulillah, uluran tangan seorang pendaki menyelamatkan saya. Pos IV penuh oleh pendaki. Saya tidak memaksakan diri merangsek di bawah atapnya, menghempaskan tubuh begitu saja di sisi tanah dengan level ketinggian yang lebih tinggi dari jalan. Tetap basah oleh hujan. “Sini mbak, koq hujan-hujanan sih.” sebuah suara mengasihani dari dalam Pos. “Nggak papa, Mas, sudah basah ini.” Saya dan Fie tidak lagi berlama-lama. Mengingat kemampuan kecepatan jalan yang super keong, kami pun bergegas meninggalkan pos IV. Matahari semakin tidak tampak, oleh mendung dan oleh limit waktunya untuk terbenam. Saya baru menyadari bahwa headlamp Fie sejak semalam mati karena putus kabel. Ah, terang langit menjadi terasa begitu mahal untuk kami. Setengah berlari kami melanjutkan perjalanan menuju Pos III. “Saya belum makan dari pagi.” Seorang pendaki curcol di belakang kami. Sementara medan turunan menuju Pos III ini terasa jauh lebih berat daripada sebelumnya. Becek luar biasa. Antrian pendaki turun yang padat merayap, sementara di jalur sebaliknya, pendaki yang baru naik beberapa kali berpapasan harus bergantian. “Berhenti di Pos III ya mas, saya ada cracker buat pengganjal perut.” Fie menawarkan bantuan. Rencana awal kami tidak akan mampir berhenti di Pos III, ingin secepatnya turun sampai Ranu Pane, tapi tentu saja nyawa seseorang jauh lebih penting dari pada lari sekencang-kencangnya. “Sendirian aja mas? Teamnya kemana?” saya iseng bertanya. “Ada di belakang.” jawabnya singkat. “Kalian juga cuman berdua?” si mas balik bertanya. “Nggak, team kami berempat puluh, tapi terbagi dalam sub team, dan sub team kami memang hanya berdua ini. Sebagian sudah turun, sebagian lagi masih di belakang.” Saya maklum. Di acara pendakian yang terlalu pikuk banyak orang seperti ini, justru akan lebih mengabaikan perhatian satu-sama lain, team terpisah dan terpencar-pencar itu hal wajar, meskipun sebenarnya ditilik dari segi safety akan lebih tinggi karena tingkat intensitas bertemu manusia semakin banyak. Di depan bangunan ambruk Pos III, Fie menurunkan kerilnya, tapi si mas yang tadi curcol malah berpamitan melenggang lebih dulu. Ketimbang mubadzir, kami pun menjejalkan masing-masing sepotong cracker, melepas ponco saya yang sepertinya malah semakin menghambat langkah -kebetulan hujan sudah berhenti, hanya menyisakan mendung menggantung- dan bergegas kembali melanjutkan perjalanan. Di depan sebuah jalur yang agak lebar, beberapa pendaki beristirahat, termasuk si mas curcol kelaperan. Mukanya pucat. Kali ini saya dan Fie memaksanya untuk bersedia menerima pemberian sekedarnya dari kami. Saya dan Fie pamit untuk berjalan lebih dulu dengan alasan mengejar terang langit, meninggalkan sebungkus cracker untuk mereka yang sedang beristirahat. Pos II terasa begitu jauh tak kunjung kami temui, sementara langkah kami sudah lebih sering setengah berlari. Terang langit semakin tipis. Kami bertemu team JKT44 di depan kami yang turun sebelumnya, menyapa dan memutuskan untuk mendahului, tentu saja karena pertimbangan limitnya terang langit bagi kami. Tiba di sisi tebing jajaran batu alam indah, langit jingga menghias senja, berlatar mahameru yang menjulang. Kami berdua terpana seterpana pananya. Tak kuasa menahan kamera tetap hangat di tempatnya. Andai memungkinkan pun, ingin rasanya memasang tripod untuk mengabadikannya dalam bidikan slow speed. Apa boleh buat, kami terburu-buru, lapak tempat menjejak pun tidak mencukupi untuk berpapasan dengan pendaki lain, sementara kami merempong jika menggelar peralatan fotografi. Alhasil lukisan senja menakjubkan kala itu harus puas tereksekusi dengan ISO tinggi dan bukaan lebar.

[caption id="attachment_211830" align="aligncenter" width="576" caption="jingga merapat senja"]

1354109117289526163
1354109117289526163
[/caption] Kami terus berjalan, men-skip acara istirahat di Pos II. Seperti biasa, lapak pos selalu penuh oleh pendaki. Lepas dari Pos II, terang langit sudah nyata pergi. Saya berdua Fie berjalan dengan berbagi penerangan dari headlamp. Sebelum kami mencapai Watu Rejeng, satu team pendaki dengan tiga orang mas-mas sudah berjalan persis di belakang kami. “Ini jalur turun ke Ranu Pane kan ya, Mbak.” asa aneh dengar pertanyaan mas ini, memangnya dia naik dari jalur mana coba? “Iya, Mas.” Di antara deru nafas ngos-ngosan setengah berlari, saya sempatkan menjawab pertanyaan. “Saya kemarin nggak lewat sini.” Terjawab sudah. Mereka pasti lewat Rute Ayek-ayek, jalur non reguler. “Wah, itu justru jalur ekstrim, Mas.” Saya menanggapi. “Kemarin kita nggak tahu, ditunjukin sama supir jeepnya di situ.” saya meneruskan ke-worship-an saya dalam hati. “Kalian cuman berdua?” Si mas dengan senter benderang kembali bertanya kepada kami, pertanyaan standard pendaki yang bertemu saya dan Fie sepanjang perjalanan turun. “Ada rombongan, masih di belakang, Mas.” Fie mewakili menjawab “Kita boleh ikut turun bareng ya, Mbak?” “Boleh banget, Mas.” Saya pasang nada sememelas mungkin, memanfaatkan momen mumpung ada yg bersedia memback up kami. Rasanya seperti semakin mantap berjalan ketika ada yang mengawal kami. Feeling more safety and more secure, absolutely. Senter terangnya benar-benar membantu kami yang tadinya hanya bertahan satu headlamp untuk berdua. Obrolan-obrolan ringan menyertai langkah kami. “Ada Pin BB nggak?” Si mas senter benderang bertanya. “Mbak depan nih, ada.” Fie menunjuk saya. Yes! Sudah ingin salto-salto di udara. “Nanti tukeran di bawah ya, Mas.” Saya bernegoisasi. Selain rempong di jalur pendakian macem gini, mengusung sikap stay cool itu wajib dong ya! Pos I menjadi tempat beristirahat. Tak lebih dari tiga menit, kami memutuskan untuk bergegas melanjutkan perjalanan turun. Sampai di Ladengan Dowo, perjalanan menjadi padat merayap. Langkah kaki tak secepat sebelumnya karena rombongan di depan sedikit menghambat perjalanan. Hingga ketika mencapai jalan turun yang menyisakan ladang penduduk di sisi kiri kami, ucap syukur Alhamdulillah membahana di belakang saya. Kami telah mencapai Desa Ranu Pane, tempat tujuan di mana base camp pendakian Semeru berada.

[caption id="attachment_211831" align="aligncenter" width="590" caption="ranu pane, pagi hari"]

1354109346743521404
1354109346743521404
[/caption] Fie melepaskan ikatan kresek sampah yang digantung di keril saya, membuangnya bersama tumpukan sampah di depan basecamp Avtech. “Kalian ngecamp di mana?” tanya si mas senter benderang “Tadi janjian sama team yang lain ketemu di halaman Posko Pendaki, tempatnya agak di atas sebelah sana.” saya menunjuk sebuah tempat. “Ya sudah, keknya nanti kita susul ke atas deh, kami mau ke sana dulu.” mas senter terang berpamitan. “Lah, katanya mau tukeran Pin BB mas?” tanya saya, tapi hanya tercekat di dalam hati. “Oke, sampai ketemu. Terima kasih sudah bantuin ya, mas. ” hanya ini yang terlahir dari mulut . Kami saling berucap salam, dan Mas Senter Benderang tak lagi terlihat batang hidungnya hingga esok hari kami berkemas dan kembali ke kota masing-masing. Duuhhhh..... dejavu mash mulekat episode pendakian tujuh bukit penyesalan punggung rinjani.. *sekian dan terima jodoh *maaf tidak bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun